Sabtu, 16 Juni 2012

1
KONSELING PRA NIKAH BAGI MAHASISWA
DI PERGURUAN TINGGI MELALUI
PENDEKATAN KELOMPOK
Oleh :
PAHLIANOOR
10862012444
JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ACHMAD YANI BANJAR MASIN
2010
2
A. PENGANTAR
Proses perkembangan adalah rentangan kehidupan individu yang
dijalani dari fase ke fase, yaitu mulai dari fase : pranatal, bayi, kanakkanak,
anak-anak, remaja, dewa, dan berakhir dengan fase tua.
Mahasiswa adalah individu yang sedang memasuki fase dewasa
awal, yaitu merupakan fase usia yang tidak hanya menuntut untuk
sekedar lebih meningkatkan kualitas pengetahuannya saja, namun juga
keterampilan dan kualitas pribadi sebagai bekal untuk hidup secara
mandiri. Pencapaian pendidikan pada jenjang ini, diharapkan memiliki
kemampuan dan wawasan yang lebih luas serta berpeluang untuk
memasuki dunia kerja dan hidup di masyarakat sekaligus memiliki
kesiapan untuk hidup berkeluarga.
. Ditinjau dari tugas perkembangan yang sedang dihadapi pada
fase usia dewasa awal, maka salah satu tugas perkembangan yang
sedang dihadapi mahasiswa adalah “mempersiapkan pernikahan dan
hidup berkeluarga”.
Konsekuensinya, diharapkan para mahasiswa mampu
menyelesaikan tugas perkembangannya dengan secara efektif dan
optimal, baik dalam tugas akademiknya sebagai calon cendikia, juga
dalam mempersiapkan karir dan pernikahan dalam hidup berkeluarga.
Realisasinya, proses perjalanan yang ditempuh tidak selalu dalam
kondisi yang mulus dan sekaligus tercapai sesuai target yang
diharapkan dan direncanakan. Adakalanya perkuliahan ditempuh sesuai
3
tepat waktu, karir dan pernikahan menyusul kemudian. Namun juga,
adakalanya perkuliahan dan karir belum tercapai, pernikahan harus
sudah mendahuluinya. Begitulah nampaknya berdasarkan fenomena
yang ada.
Bahkan jika menyoroti sebuah isu pernikahan yang berkembang
pada masa remaja akhir dan dewasa awal terutama bagi mereka yang
sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi, terkadang mereka
dihadapkan kepada pemikiran dan perasaan yang berkecamuk antara
mengambil keputusan untuk menikah atau menunda waktu untuk
menikah, merencanakan waktu yang tepat untuk menikah, menetapkan
tipe atau kriteria pasangan yang diharapkan, kemampuan
mendeskripsikan pernikahan yang hendak dicapai, belajar memahami
peran sebagai suami atau isteri, memahami keuntungan dan kerugian
antara hidup sendiri atau menikah, mengenal dan memahami faktorfaktor
yang mempengaruhi dalam mempersiapkan pernikahan dan hidup
berkeluarga, melakukan upaya yang dapat mengantisipasi terjadinya
ketidakpuasan dalam membuat keputusan untuk sebuah pernikahan.
(Mengadaptasi pernyataan Marcia et al., dalam Kenedi G. ; 2005 : 2-3).
Merujuk kepada fenomena di atas, khususnya dalam menghadapi
salah satu tugas perkembangan yang sedang dihadapi yaitu memilih
pasangan hidup, mempersiapkan pernikahan dan hidup berkeluarga,
bagi mahasiswa tidak lepas dari permasalahan yang cenderung harus
dihadapinya. Hal ini terkadang tidak dapat untuk di atasi sendiri, namun
4
sangat memerlukan bantuan orang lain untuk saling berbagi
pengalaman. Kondisi seperti ini cenderung mereka perlukan jika bertemu
baik dengan sesama teman yang sedang berada pada permasalahan
yang sama, maupun dengan melalui bantuan dosen pembimbing atau
dosen wali kelas.
Implikasinya, para pendidik di Perguruan Tinggi, khususnya para
Dosen Pembimbing Akademik, wali kelas, atau melalui wadah UPT
Layanan Bimbingan Konseling, berkewajiban memiliki peran, tugas, dan
tanggung jawab dalam memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan mahasiswa,
terutama dalam mengantisipasi serta menangani para mahasiswa yang
memerlukan bimbingan khususnya dalam menghadapi persiapan untuk
memasuki hidup berkeluarga melalui pernikahan. Melalui pendekatan
konseling kelompok, khususnyan yang difasilitasi melalui UPT Layanan
Bimbingan dan Konseling , maupun langsung melalui dosennya masingmasing,
diharapkan para mahasiswa memperoleh perubahan dan
perbaikan pada diri sendiri melalui peningkatan pemahaman dan
kesadaran serta penyesuaian yang lebih baik, dalam menghadapi
persiapan kehidupan dimasa datang, baik kehidupan dalam
bersosialisasi / bermasyarakat, berkarir, maupun menghadapi kehidupan
berkeluarga., sesuai dengan norma sosial dan kultur masyarakat dimana
individu mahasiswa itu berada.
Salah satu upaya bantuan yang diberikan kepada mahasiswa
adalah dengan melalui pendekatan konseling kelompok. Dengan melalui
5
pendekatan kelompok, menggambarkan betapa pentingnya nilai
kebersamaan, kekompakan, saling memahami dan bekerjasama untuk
menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dalam meraih tujuan yang ingin
dicapai. Seperti sabda Nabi Muhammad SAW : “Sesungguhnya interaksi
antara individu (muslim) dengan yang lainnya laksana jari-jemari yang
tidak pernah berhenti untuk saling membantu dan mengasihi” (Al-
Hadist).
Pendekatan konseling kelompok cenderung lebih efektif
dibandingkan dengan konseling individual. Tentang keefektifannya,
selanjutnya Gibsom dan Mitchell (1995 : 185) mengasumsikan sebagai
berikut.
1. .Manusia itu berorientasi kelompok. Orang-orang saling
melengkapi, membantu, dan menikmati satu sama lain. Kelompok
merupakan suatu tempat yang alami bagi terjadinya proses
tersebut.
2. Manusia berusaha memenuhi kebutuhannya yang paling
mendasar dan bersifat pribadi-sosial melalui kelompok, meliputi
kebutuhan untuk mengetahui dan tumbuh secara mental; dengan
demikian, kelompok merupakan jalan yang paling alami dan
expeditious untuk belajar.
3. Secara konsekuen, kelompok merupakan tempat yang paling
berpengaruh dalam teknik-teknik pertumbuhan, belajar,
6
pengembangan pola perilaku, gaya coping, nilai-nilai, potensi
karir, dan penyesuaian diri seseorang.
Dengan melalui tugas makalah dalam mata kuliah Konseling di
Perguruan Tinggi yang merupakan mata kuliah Kajian Mandiri ini,
diharapkan akan dapat memberikan kontribusi terhadap seluruh pihak
yang terkait, khususnya pertama, bagi penulis dalam rangka
penyelesaian salah satu tugas mata kuliah, kedua, dalam rangka
rencana penulisan ‘ disertasi’ sebagai akhir persyaratan selesainya
perkuliahan. Kontribusi berikut, sebagai masukan bagi pengembangan
program bimbingan dan konseling di Perguruan Tinggi, khususnya
Universitas Pendidikan Indonesia.
B. KONSEP POKOK MATERI
Konsep pokok materi yang dikemukakan dalam makalah ini
mencakup aspek-aspek berikut.
1. Mahasiswa sebagai Fase Usia Dewasa
2. Selintas tentang Konseling Kelompok
3. Selintas tentang Konseling Pra nikah
4. Konseling Pra nikah Melalui Pendekatan Kelompok
1. Mahasiswa Sebagai Fase Usia Dewasa
Masa dewasa awal atau early adulthood (18- 25 tahun)
merupakan masa penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru
7
dan harapan-harapan sosial yang baru sebagai orang dewasa. Orang
dewasa awal diharapkan dapat memainkan peran baru sebagai suami
atau istri, sebagai orang tua, sebagai pekerja, dan sebagai anggota
masyarakat. Peran baru yang dimainkan oleh orang dewasa awal harus
diikuti oleh perubahan sikap, keinginan dan nilai-nilai yang sesuai
dengan peran baru tersebut. Orang dewasa awal sering mengalami
kesulitan dalam melakukan penyesuaian diri secara mandiri dan
bertanggung jawab terhadap peran baru yang ia miliki, baik sebagai
suami, istri, pekerja maupun anggota masyarakat.
Berikut dikemukakan ciri-ciri umum tahap perkembangan dewasa
awal adalah : 1) Masa pengaturan, usia dewasa awal merupakan saat
dimana seseorang mulai menerima tanggung jawab sebagai orang
dewasa. 2) Usia reproduktif, usia dewasa awal merupakan masa yang
paling produktif untuk memiliki keturunan, dengan memiliki anak mereka
akan mmiliki peran baru sebagai orang tua. 3) Masa Bersalah, pada usia
dewasa awal akan muncul masalah-masalah baru yang berbeda dengan
masalah sebelumnya, diantaranya masalah pernikahan.4) Masa
ketegangan emosional, usia dewasa awal merupakan masa yang
memiliki peluang terjadinya ketegangan emosional, karena pada masa
itu seseorang berada pada wilayah baru dengan harapan-harapan baru,
dan kondisi lingkungan serta permasalahan baru. 5) Masa keterasingan
sosial, ketika pendidikan berakhir seseorang akan memasuki dunia kerja
dan kehidupan keluarga, seiring dengan itu hubungan dengan kelompok
8
teman sebaya semakin renggang.6) Masa komitmen, pada usia dewasa
awal seseorang akan menentukan pola hidup baru, dengan memikul
tanggung jawab baru dan memuat komitmen-komitmen baru dalam
kehidupan. 7) Masa ketergantungan, meskipun telah mencapai status
dewasa dan kemandirian, ternyata masih banyak orang dewasa awal
yang tergantung pada pihak lain. 8) Masa perubahan nilai, jika orang
dewasa awal ingin diterima oleh anggota kelompok orang dewasa. 9)
Masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru. 10) Masa kreatif, masa
dewasa awal merupakan puncak kreativitas.( Elizabeth Hurlock, 1991 :
247-252).
Ditinjau dari tugas perkembangan yang sedang dihadapi pada fase
usia dewasa awal, maka tugas perkembangan yang sedang dihadapi
adalah sebagai berikut :
1) mulai bekerja ; 2) memilih pasangan hidup ; 3) belajar hidup dengan
pasangan ; 4) mempersiapkan pernikahan dan hidup berkeluarga ; 5)
memelihara anak ;6) mengelola rumah tangga ; 7) mengambil tanggung jawab
sebagai warga negara ;8) menemukan suatu kelompok yang serasi. (Elizabeth B.
Hurlock , 1991 : 10 ).
2. Selintas Tentang Konseling Kelompok .
Konseling kelompok adalah suatu upaya bantuan terhadap
individu dalam suasana kelompok yang bersifat pencegahan dan
9
penyembuhan, dan diarahkan kepada pemberian kemudahan dalam
rangka perkembangan dan pertumbuhannya.
(Rohman Natawidjaja ; 1987 : 33)
Dari pengertian di atas, dapat dimaknai, bahwa sekalipun bantuan
diberikan dalam suasana kelompok, namun tergambar dengan jelas
bahwa, tujuan akhir yang dicapai adalah bersifat individual. Sementara
peran dan fungsi konseling kelompok itu sendiri dipandang sebagai
perantara atau medium yang memfasilitasi terjadinya perubahan perilaku
pada masing-masing anggota kelompoknya.
Terkait dengan tujuan akhir yang dicapai dalam konseling
kelompok, Nana Syaodih Sukmadinata (1988 : 74-75) mengemukakan
bahwa tujuan konseling kelompok adalah membantu individu agar
dapat : a) mencapai pemahaman diri; b) mempunyai pandangan yang
luas tentang dirinya dalam hubungannya dengan orang lain; c) memiliki
pemahaman yang luas terhadap faktor-faktor sosial yang mempengaruhi
perkembangan kepribadian ; d) mengendurkan ketegangan, frustasi,
kecemasan, atau perasaan berdosa; e) memahami masalah dengan
baik, belajar mengawasinya, mengadakan pemilihan, dan mencari
keputusan yang tepat ; f) menerima secara objektif tentang pikiran,
perasaan, dan motif-motifnya ; g) memiliki perasaan bersatu dengan
orang lain, menerima dan memberikan bantuan, memahami dan
menerima dirinya dan orang lain.
10
3. Selintas Tentang Pernikahan dan Konseling Pra Nikah
Pernikahan adalah ikatan sakral yang terjalin di antara laki-laki
dan perempuan yang telah memiliki komitmen usntuk saling
menyayangi, mengasihi, dan melindungi. Hubungan yang terjadi di
antara pasangan dalam sebuah pernikahan, merupakan hal yang paling
mendasar . Apabila hubungan yang terjadi di antara pasangan tersebut
terjalin dengan baik, maka akan nampak keharmonisan dan
kebahagiaan di dalam pernikahan dan hidup berkeluarga yang
dijalaninya. Begitu pun sebaliknya, jika dalam memasuki jenjang
pernikahan , seseorang belum mampu mempersiapkan dirinya baik
secra fisik, mental, spritual, dan finansial, maka diperlukan sekali
persiapan – persiapan menuju ke jenjang pernikahan dan hidup
berkeluarga.
Sebuah persiapan sangat diperlukan dengan tujuan agar masingmasing
pasangan dapat mengetahui, memahami, serta mensikapi nilainilai
pernikahan yang merujuk kepada makna dan hikmah pernikahan
dalam hidup berkeluarga.
Dalam agama nikah ini sangatlah dianjurkan, bahkan diwajibkan
bagi mereka yang apabila tidak nikah, cenderung akan melakukan zina.
Salah satu anjuran agama, melalui hadist Rasulullah Saw., dikemukakan
sebagai berikut. “Wahai para pemuda, siapa saja yang telah sanggup
untuk memberi nafkah, hendaklah dia menikah, karena nikah itu
11
merupakan suatu jalan untuk mencegah pandangan (dari hal negatfi)
dan lebih memelihara kehormatan”.
Agama menganjurkan atau mewajibkan menikah kepada umatnya,
karena nikah mengandung hikmah sebagai berikut : 1) penyaluran
nafsu seksual secara benar dan sah ; 2) satu-satunya cara untuk
mendapatkan anak atau mengembangkan keturunan secara sah ; 3)
untuk memenuhi naluri kebapakan dan keibuan yang dimiliki seseorang
dalam melimpahkan kasih sayangnya ; 4) mengembangakan rasa
tanggung jawab seseorang yang telah dewasa ; 5) berbagai rasa
bertanggungjawab melalui kerjasama yang baik ; 6) mempererat
hubungan (tali silaturahmi) antar satu keluarga dengan keluarga lain ; 7)
menjaga diri dari keamaksiatan karena terpenuhinya kebutuhan fitrah
seks ; 8) memperpanjang usia. ( Dadang Hawari , 2006 : 60 – 65,
Suroso Abd. Salam, dkk., 2006 : 165).
Ciri-ciri individu yang memasuki usia dewasa awal dan memiliki
sikap positif terhadap pernikahan, dikemukakan sebagai berikut.
a. Mau mempelajari hal ihwal pernikahan
b. Meyakini bahwa nikah meruapakan satu-satunya jalan yang
mensahkan hubungan sex antara pria dan wanita.
c. Meyakini bahwa nikah merupakan ajara agama yang sakral (suci)
yang tidak boleh dilanggar.
d. Mau mempersiapkan diri untuk menempuh jenjang pernikahan.
12
Disamping hikmah pernikahan dan ciri-ciri sikap positif yang perlu
dipersiapkan mahasiswa sebagai individu yang sedang berada pada
fase usia dewasa awal, maka perlu memahami pula faktor-faktor yang
harus diperhatikan dalam menempuh pernikahan, diantaranya adalah
sebagai berikut.
a. Kematangan fisik (bagi wanita setelah usia 18-20 tahun, bagi pria
usia 25 tahun).
b. Kesiapan materi (bagi suami diwajibkan memberi nafkah kepada istri)
c. Kematangan psikis (mampu mengendalikan diri, tidak kekanakkanakan,
tidak mudah tersinggung, dan tidak mudah pundung,
berkisap mau menerima kehadiran orang lain dalam kehidupannya;
mempunyai sikap toleran, bersikat hormat atau mau menghargai
orang lain, dan memahami karakteristik pribadi dirinya atau calon
istri/suaminya).
d. Kematangan Moral-Spritual (memiliki pemahaman dan keterampilan
dalam masalah agama, sudah bisa dan biasa melaksanakan ajaran
agama, terutama shalat dan mengaji kitab suci, dan dapat
mengajarkan agama kepada anak).
Sesuai dengan paparan di atas tentang hikmah, ciri-ciri, dan
faktor-faktor yang perlu dipahami dalam menghadapi pernikahan,
berikut dikemukakan makna hidup berkeluarga yang akan dijalani
setelah proses pernikahan berlangsung. Keluarga terbentuk melalui
pernikahan. Hidup bersama antara pria dan wanita tidak dapat
13
dikatakan “keluarga”, jika tidak diikat dengan tali pernikahan. Hidup
bersama tanpa nikah, orang menamakannya ”samen leven” alias
“kumpul kebo”, yang menurut agama haram hukumnya. Hidup
berkeluarga adalah hidup bersama antara suami-istri, atau orang tuaanak
sebagai hasil dari ikatan penikahan.
Dalam hidup berkeluarga itu, ada hak dan kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh masing-masing anggotanya. Suami mempunyai
kewajiban untuk memberi nafkah dan memberi perawatan dan
pendidikan kepada keluarganya. Dia mempunyai hak untuk mendapat
penghidmatan yang baik dari istrinya, dan penghormatan dari anaknya.
Istri atau ibu mempunyai kewajiban untuk berhidmat kepada suaminya,
dan merawat serta mendidik anaknya. Dia pun mempunyai hak untuk
mendapat nafkah dari suaminya dan penghormatan dari suami dan
anaknya. Anak mempunyai kewajiban untuk menghormati atau mentaati
perintah orang tuanya. Dia juga mempunyai hak untuk mendapat
perawatan dan pendidikan dari orang tuanya.
Sedangkan ciri-ciri usia dewasa awal yang mempunyai sikap positif
terhadap hidup berkeluarga, dikemukakan sebagai berikut.
a. Mempunyai keinginan mempelajari hal ihwal hidup berkeluarga.
b. Mau menerima hak dan kewajiban sebagai suami atau istri, atau
sebagai orang tua.
c. Meyakini bahwa hidup berkeluarga merupakan salah satu ibadah
kepada Tuhan
14
d. Meyakini bahwa dengan hidup berkeluarga masyarakat atau negara
itu akan kokoh, sejahtera, aman, tertib, maju , dan bermoral.
(Syamsu Yusuf , 1998 : 42-42).
Konseling pranikah adalah suatu pola pemberian bantuan yang
ditujukan untuk membantu mahasiswa memahami dan mensikapi
konsep pernikahan dan hidup berkeluarga berdasarkan tugas-tugas
perkembangan dan nilai-nilai keagamaan sebagai rujukan dalam
mempersiapkan pernikahan yang mereka harapkan. Inti pelayanan
konseling pranikah adalah wawancara konseling, melalui wawancara
konseling diharapkan mahasiswa dapat memperoleh pengetahuan,
pemahaman, keterampilan, nilai-nilai dan keyakinan yang kokoh, serta
membantu menangani masalah-masalah yang mengganggu mereka
menuju pernikahan yang diharapkan.
Konseling pranikah yang dimaksud, dirancang dalam sebuah
sistem dengan komponen-komponen dari aspek-aspek konseling yang
diidentifikasi secara jelas dan diorganisasikan ke dalam suatu susunan
yang dapat meningkatkan keefektifan dan keefesienan suatu pelayanan.
Konseling pra nikah dalam makalah ini, akan direalisasikan
melalui pendekatan kelompok yang akan dibahas pada bagian berikut.
15
4. Konseling Pra Nikah Melalui Pendekatan Kelompok
Bagian ini akan membahas secara rinci dan menyeluruh, karena
merupakan isi pokok materi tentang pendekatan kelompok dan di
implementasikan dalam konseling pra nikah bagi mahasiswa di
perguruan tinggi. Sebagai bahan rujukan utama yang dijadikan landasan
pokok materi, baik sebagai bahan uraian pada aspek ini, maupun fokus
isi makalah secara keseluruhan adalah sebagai berikut.
a. Konsep Pokok Materi pertama, di angkat dari sebuah artikel, yang
berjudul ‘Teknik-Teknik Bagi Kelompok Pra nikah’ (Techniques with Pre-
Marriage Group), penulisnya adalah David J. Rolfe (Marriage and
Family Counseling Clinic Lansing, Michigan, USA) diperoleh dari British
Journal of Guidance & Counselling. Uraian dari pembahasan artikel
tersebut adalah sebagai berikut.
Artikel ini membahas desain dan implementasi kursus singkat
pranikah bagi pasangan. Formatnya berupa salah satu ceramah pendek
yang diikuti dengan latihan (exercises) dan diskusi oleh pasangan atau
kelompok-kecil. Berkenaan dengan latihan orientasi, dibahas lima bidang
kajian / topik, yaitu : 1) interaksi pernikahan ; 2) manajemen keuangan;
3) tugas orang tua (parenthood); 4) dimensi-dimensi keagamaan; dan 5)
masalah seks. Kursus ini merujuk pada program pranikah lainnya yang
diselenggarakan di Amerika Serikat.
Gangsei (1971) yang orientasinya lebih bersifat psikologis,
memberikan kesempatan kepada kelompok untuk menjalankannya
16
sendiri melalui sebuah bentuk kursus yang lebih fleksibel digunakan oleh
Glendening & Wilson (1972) dalam sebuah kursus yang diadakan bagi
calon perwira militer dan calon istrinya. Terbuka bagi lima pasang
sekaligus, kursus ini berlangsung rata-rata 22 jam pertemuan dalam satu
akhir pekan. Penekanannya terletak pada penggunaan proses
kelompok-kecil untuk lebih lanjut menumbuhkan wawasan dan
hubungan. Uniknya, kursus ini merupakan konseling lanjutan yang
terencana selama bulan-bulan berikutmya.
Dua kursus lainnya, walau ditujukan pada pasangan individual,
dapat diadaptasi untuk kelompok-kecil. Kedua kursus ini dimulai oleh
cabang-cabang sistem hukum di AS yang bertanggung jawab
memberikan izin menikah kepada pasangan muda yang berusia antara
14-18 tahun. Kursus yang diadakan di California lebih bersifat
mendidik—educational—( Shonick, 1975). Kursus lainnya, yang
digunakan di Ingham County, Michigan, menggabungkan unsur
pendidikan dengan evaluasi diagnostik khusus dan psikoterapi singkat
bagi pasangan muda dan orang tuanya ( Rolfe, 1976).
Sebuah pendekatan yang berbeda adalah yang digunakan
Program Komunikasi Pasangan Minessota—Minessota Couples
Communication Programme, MCCP-- (Miller & Nunnally, 1972), yakni
sebuah program pelatihan keterampilan komunikasi individual dan
pasangan: dalam hal ini, sejumlah informasi disampaikan dan diperiksa
nilai-nilainya. Namun, secara umum, terdapat sedikit sekali kursus yang
17
berusaha memberikan informasi dan keterampilan, dan pada saat yang
sama memeriksa prioritas bagi pernikahan anggota-anggota kursusnya.
Materi Pelatihan
Materi dalam pelatihan ini memiliki lima bidang cakupan yaitu : 1)
interaksi pernikahan; 2) manajemen keuangan ; 3)tugas sebagai orang
tua (parenthood); 4) dimensi-dimensi keagamaan ; dan 5) masalah seks.
Masing-masing diberi alokasi waktu 40-90 menit, dan formatnya
sama pentingnya dalam semua hal, yakni penyampaian informasi diikuti
dengan sesi pertanyaan pendek dan sisa waktu terbanyak digunakan
untuk latihan baik di kelompok kecil atau pasangan individual.
Kelima bidang cakupan dari materi kursus diatas, berkut
dikemukakan penjelasannya masing-masing.
1. interaksi pernikahan. Materi ini dimulai dengan ceramah singkat
meminta partisipan memikirkan peran implisit dan eksplisit dari fungsi
kerja dan organisasi dalam keluarga yang telah mereka jalankan. Sikapsikap
terhadap rasa marah, mendebat, kasih sayang, masalah seks dan
mitos keluarga (Laing, 1969) dinyatakan penting. Orientasinya
merupakan salah satu dari ‘bagaimana Anda melakukan sesuatu di
dalam keluarga Anda dan bagaimana pasangan Anda melakukannya di
keluarganya?’.
Selanjutnya, partisipan bersama dengan pembicara membuat
daftar pernyataan tentang tanggung jawab peran istri dan suami.
Pembicara menuliskannya di papan tulis, dengan menggunakan huruf18
huruf dari setengah bagian alfabet pertama untuk mengidentifikasi 10
atau 12 pernyataan peranan istri, dan huruf-huruf pada sebagian akhir
alfabet untuk mengidentifikasi pernyataan tentang peranan suami.
Pasangan kemudian dipisah, diberi kertas dan pensil, dan diminta
mengurutkan pernyataan tersebut berdasarkan penekanan relatif atau
prioritas yang mereka tetapkan dalam hal fungsi kerja masing-masing
yang dijalankan sebelumnya dalam pernikahan. Tiap orang juga
mengurutkan pernyataan tentang peranan pasangannya, yang
menunjukkan bagaimana mereka menginginkan pasangannya bertindak
sebagai seorang suami atau istri. Setelah ini, tiap pasangan kembali
bersama dan membahas urutan prioritas relatifnya. Diketahui bahwa
perbedaan tiga tingkat atau lebih dalam urutan prioritas diantara
pasangan—misalnya, si perempuan menetapkan persahabatan bagi
dirinya dan pasangannya sebagai prioritas utama, dan si laki-laki
menetapkannya sebagai prioritas keempat—merupakan pemicu konflik
pada hal tersebut. Pasangan-pasangan diminta melihat prioritasprioritasnya
bersama, dan menemukan bagaimana dan mengapa
mereka telah mencapai konsensus. Mereka sama-sama diminta melihat
area-area perbedaan dan memikirkan tidak hanya tentang arti dari
perbedaan tersebut, namun juga bagaimana cara mengatasinya. Mereka
didorong untuk melanjutkan diskusinya setelah pertemuan. Rupanya
banyak dari mereka yang melakukannya.
19
2. Bidang manajemen keuangan. Untuk mengkaji bidang ini, sangatlah
tidak mudah, karena terdapat informasi tertentu yang telah tercakup di
dalamnya. Detemukan bahwa betapa pentingnya menyediakan bukletbuklet
tentang asuransi yang dipilih secara cermat, menyusun anggaran,
bagan sewa-beli, kartu kredit, dan bagaimana mengatur keinginan.
Fokus utama ceramah dalam materi ini adalah tentang bagaimana
menggunakan informasi yang tercantum dalam handout. Topik-topik
seperti tujuan perencanaan, mekanisme alokasi uang, dan bagaimana
mengelola sesuatu jika pengeluaran seseorang melebihi
pendapatannya, semuanya merupakan bagian yang membantu dari
presentasi. Tergantung preferensi pembicara, ceramah ini didahului atau
diikuti dengan presentasi film dan kaset-tape yang berjudul ‘Pernikahan
dan Uang’ (Marriage and Money), yang menayangkan pasangan muda
yang sedang mempertimbangkan sejumlah pilihan realistis.
Bagian berikutnya dari sesi ini berfokus pada prioritas-prioritas
partisipan kursus. Terdapat dua metode yang berhasil digunakan. Salah
satunya adalah Latihan Manajemen Keuangan—Money Management
Exercise--(Rolfe, 1975)1, sebuah kumpulan sketsa permasalahan
keuangan. Tiap partisipan mengambil sebuah kartu bernomor secara
acak, membacakan sketsanya kepada anggota-anggota kelompok
lainnya, dan kemudian menjelaskan bagaimana keadaan sulit tersebut
diatasi. Mengecek pasangannya apakah mereka menginginkan atau
20
menyukai bantuan (remedy) dapat membuka diskusi yang menarik dan
menyenangkan.
Latihan alternatif lain adalah Inventaris Prioritas Finansial-
Financial Priority Inventory (Rolfe, 1974)1. Ini berkaitan dengan prioritas
dalam hal penggunaan uang, nilai-nilai manajemen keuangan, dan
jumlah relatif yang dimiliki masing-masing pasangan dalam keputusan
finansial, dan perkiraan seberapa besar uang yang dapat dibelanjakan
untuk bermacam-macam barang. Pasangan dipisahkan untuk menngisi
formulir dan kemudian kembali bersama untuk memulai proses
penyusunan manajemen keuangan untuk pernikahannya mendatang.
Pasangan-pasangan yang telah memulai proses ini beruntung karena
mendapat umpan balik langsung dari tingkat konsensusnya. Kelompok
ini seringkali merasa senang mengetahui tingkat konsensus dalam
kelompoknya, dan pasangan lain yang memiliki prioritas sama. Secara
membangun ini dapat ditangani selama tidak dipaksakan semua orang
berbagi temuan-temuannya.
3. Tugas orang tua (parenthood). Tugas ini memiliki fungsi ganda:
hubungan dengan orang tua dan ipar, dan pasangan juga menjadi orang
tua bagi anak-anaknya. Topik ini bagi pembicara termasuk sulit untuk
disampaikan secara memuaskan karena ketika diminta
mengungkapkannya seringkali seorang yang cerdas dan terbuka
pemikirannya bahkan bersikukuh dan berpikiran sempit seperti
21
misionaris Victoria. Selanjutnya dipilih para pembicara secara cermat,
mencari seseorang yang dapat menyampaikan fakta-fakta sekaligus
mendorong pasangan untuk memikirkan siapa yang diharapkan
melakukan segala hal dalam pernikahannya. Pasangan yang sudah
bertunangan seringkali harus dibujuk bahwa penting untuk
membicarakan tugas orang tua sebelum mereka menikah. Namun,
mereka menemukan ternyata sangat membantu untuk saling
mengemukakan ekspektasi masing-masing tentang gambaran peran
sebagai orang tua, dan memperkirakan perubahan yang terjadi di dalam
pernikahan setelah kehadiran anak-anak. Pertanyaan yang diajukan
mencakup ‘kapan Anda siap berkeluarga?’ dan ‘mengapa Anda ingin
memiliki anak?’. Pembicara mengemukakan bahwa biasanya orangorang
cenderung membesarkan anak seperti halnya mereka dibesarkan:
dengan sedikit desakan, ini memancing anggota-anggota kursus untuk
mulai bersama-sama mengemukakan beberapa bayangan dengan calon
suami/istrinya, dan umpan balik yang diterima menunjukkan bahwa
setelah pertemuan usai banyak dari mereka berjam-jam membicarakan
praktek-praktek berkeluarga. Pertanyaan-pertanyaan pada akhir
ceramah harus dipisahkan dari bagaimana pembicara telah
membesarkan anak-anaknya: mereka diarahkan kembali ke si penanya
dan bagaimana dia ingin menangani situasi tersebut. Memberi jawaban
yang sudah tersedia pada saat ini tidak akan membantu pasangan
memanfaatkan intelijensinya untuk menghasilkan perencanaan yang
22
lebih dulu, namun memiliki akibat sebaliknya yakni malah menutup
penyelidikan (inquiry). Namun, mereka diberi rujukan organisasi atau
buku dimana mereka dapat memperoleh nasihat yang diperlukan dari
ahlinya.
Latihan pada bagian ini kembali menggunakan sketsa-sketsa
pendek (Rolfe, 1975b)1. Sebagaimana sketsa-sketsa dalam Latihan
Manajemen Keuangan, yakni semuanya diambil dari kejadian
sebenarnya, beberapa dikemukakan pasangan dalam konseling
pernikahan, dan yang lainnya mengambil dari diskusi informatif dengan
orang tua.
4. Dimensi-dimensi keagamaan dalam pernikahan. Versi yang
diangkat dari materi keempat ini, adalah versi kristiani. Pendekatan yang
digunakan dengan melalui tiga orang penceramah dari para pendeta.
seorang penceramah / pendeta lajang, dua pendeta dari gereja yang
berbeda, dan seorang pendeta dan masyarakat biasa. Keberhasilan dua
pendekatan terakhir bergantung pada kemampuan para pemimpin
bekerja sama. Sebelum membahas permasalahan, sangat membantu
untuk menguji partisipan dan mengetahui apa yang mereka harapkan
dari ceramah. Kemudian, segera setelah itu kelompok kecil diminta
memutuskan untuk apa pernikahan bagi mereka dalam versi kristen:
bagaimana pernikahan ini berfungsi dalam keseharian; dan bagaimana
pasangan beda-keyakinan yang melanjutkan tradisi keagamaan masing23
masing dapat tetap memiliki pernikahan yang harmonis. Pembicara
mengundang kelompok untuk mengemukakan pikirannya mengenai
pertanyaan ini, dan gagasan ini secara informal dibangun untuk
mencakup sejumlah bidang-bidang topik yang telah ditentukan Ini
terbukti jauh lebih efektif dibanding pendekatan alternatif ceramahdiikuti-
pertanyaan dalam mesntimulasi pikiran dan diskusi-kelompok
tambahan. Bidang-bidang topik yang dibahas mencakup hubungan
pernikahan, perencanaan keluarga, memperoleh keturunan, masalah
seks dalam pernikahan, sifat sakral pernikahan, perintah agama
mengenai anak-anak, persoalan dan pernikahan beda-keyakinan,
keyakinan aktif dalam hubungan pernikahan, persiapan kehidupan
pernikahan Kristen dan cara upacara pernikahan.
Disamping menyampaikan informasi faktual, diharapkan pendeta
mendorong pasangan yang memiliki latar belakang agama yang berbeda
untuk mengunjungi gereja pasangannya, secara terpisah mencatat
khotbah, dan memeriksa apakah keduanya ‘mendengar’ hal yang sama
dari apa yang disampaikan (Knox, 1972). Beberapa pendeta enggan
melakukan ini. Walaupun demikian, perbedaan agama harus dibicarakan
secara mendalam sebelum pernikahan. Meski hal ini berlaku bagi semua
campuran latar belakang agama, namun penting sekali bagi mereka
yang mana persekutuan melintasi garis Katolik, Judaisme, Protestan
Evangelis, atau Fundamentalisme (misalnya, Saksi Jehovah). Tiap
pandangan umum agama menempatkan nilai-nilai pembedanya pada
24
ketaatan beragama, wewenang pendeta, individualitas, dan pemeluk
agama baru. Gagalnya membahas perbedaan ini sebelum pernikahan
dapat menyebabkan seseorang tidak mengetahui gambaran tentang
keinginan pasangannya untuk mengubah atau mengikuti praktek-praktek
terdahulunya.
Jika pemimpin mengalami kesulitan mengajak partisipan terlibat
dalam membahas masalah ini, latihan nilai-nilai keagamaan kadang
digunakan. Seluruh kelompok diminta membantu membuat daftar
sepuluh pernyataan yang menggambarkan praktek keagamaannya.
Kemudian, tiap kelompok kecil diminta mengurangi menjadi lima item,
atau mengurutkan daftar lengkap dari kesepuluh item. Seringkali ini
merupakan pekerjaan yang menuntut dan memakan waktu.
5. Masalah seks. Masalah seks merupakan topik menarik bagi semua
orang, maka kursus dipenuhi partisipan dan berakhir menyenangkan.
Topik seperti ini mungkin saja berlebihan di dunia berorientasi seks
seperti saat ini, tapi ternyata tidak: sangat mengejutkan justru hanya
sedikit yang benar-benar paham tentang masalah seks. Penceramah
sebelum memulai sesi ini penting sekali untuk memberikan ulasannya
terlebih dahulu. Apa yang membantu dan mengurangi kecemasan bagi
pasangan muda mungkin saja menimbulkan kecemasan bagi orang
yang lebih tua. Biasanya ulasan ini dimulai dengan tayangan film
tentang masalah seks seperti Achieving Sexual Maturity (Memeperoleh
25
Kematangan Seksual) atau About Concepstion and Contraseption
(Tentang Konsepsi dan Kontrasepsi). Kemudian diikuti dengan diskusi
dan sesi pertanyaan yang dipimpin oleh dokter, perawat atau pembicara
dari Klinik Perencanaan Keluarga (Family Planning Clinic). Diskusi
mencakup fisiologi reproduksi manusia, perencanaan keluarga, dan nilainilai
emosional penting dalam hubungan seksual, sikap tanggap yang
berkurang, dan mengajarkan masalah seks kepada anak. Bidang-bidang
ini bersifat emosional, yang mana pengajaran nilai-nilai bersinggungan
dengan larangan kegiatannya: untungya terdapat sejumlah bahan-bahan
sumber yang bagus (Rubin & Calderwood, 1973; dan Paonesa &
Paonesa, 1971). Bahkan dengan partisipan yang terpelajar dan tampak
malu-malu, kualitas pertanyaan yang diajukan lebih meningkat dengan
cara memberikan kertas kepada semua orang untuk menuliskan
pertanyaan: kertas kemudian dikumpulkan dan diserahkan kepada
pembicara untuk dijawab; mereka yang tidak memilki pertanyaan
menulis ‘no question’.
Bagian terakhir dari bidang topik ini adalah latihan ‘Hubungan
Seksual’(sexual intimacy). Tiap pasangan diberi kuesioner untuk
didiskusikan secara pribadi. Kuesioner tersebut bukan mengenai
pantangan pranikah ataupun hidup bersama sebelum pernikahan,
namun mengarahkan pasangan untuk saling menanyakan pertanyaan
khusus seperti ‘ketika berhubungan seks, apakah ada situasi atau saatsaat
yang dapat menimbulkan ketegangan dalam pernikahan kita?’,
26
‘kapan kita berhubungan seks, apa yang kamu rasakan jika satu diantara
kita tidak mencapai orgasme?’, ‘kebutuhan seksual seperti apa yang
kamu bayangkan jika sedang merasa sedih, depresi atau tidak bahagia?’
(Rolfe, 1975). Latihan ini memiliki dua tujuan sekaligus, yakni untuk
mendorong praktek diskusi secara terbuka tentang unsur seksual dalam
pernikahan, dan untuk memotivasi pasangan dalam membahas bersama
masalah-masalah dan prasangka tentang ekspektasi mereka dari
hubungan seksual dalam pernikahan.
Jika masih tersedia banyak waktu, kursus dapat dilanjutkan
dengan sesi tambahan tentang masalah seks dengan menggunakan
kerangka prosedur kelompok kecil dalam Morrison dan Price (1974) dan
Schiller (1972). Tetapi untuk melanjutkan proses evaluasi-diri,
penggunaan dan penyaringan informasi, dan diskusi bersama tentang
prioritas, pasangan dibekali sejumlah pekerjaan rumah
b. Konsep pokok materi kedua, diangkat dari sebuah buku, yang
berjudul “The Helping Relationship’ (Proses and Skill), yang ditulis oleh
Lawrence M. Brammer.
Materi bahasan yang diangkat melalui buku sumber tersebut
adalah tentang pendekatan kelompok melalui Self help group.
27
1. Pengertian Self Helf Group.
Self helf group merupakan suatu cara yang efektif untuk
menangani masalah bersama dalam kelompok, dengan cara saling
mendukung ( membantu) yang saling menguntungkan antara samasama
anggota kelompoknya.
Melalui pendekatan self help group, permasalahan yang dihadapi
secara bersama dengan setiap anggota kelompoknya, cenderung dapat
dijadikan sebagai sumber semangat baik bagi konselor, maupun
kliennya dalam mencari alternatif bantuan dan pemecahan masalah
yang sama-sama dihadapinya.
Bimbingan dan Konseling dengan pendekatan self help group
mulai berkembang pada tahun1930-an yang lalu. Gerakan ini
merupakan upaya keinginan untuk memperbaiki kondisi kehidupan baik
secara individual maupun kelompok.. Terdapat lebih dari 500 ribu Self
help groupdi Amerika Serikat dengan 12-15 juta anggota aktif (Brown,
Farley, Squires: 1988). Menurut sejarah, berdasarkan para profesional,
kesehatan mental memiliki ambivalen (perasaan yang bertentangan)
atau reaksi pertolongan terhadap diri sendiri.
2. Kesamaan Karakteristik Anggota Self Help Group.
Anggota self help group cenderung memiliki kesamaan
karakteristik, diantaranya adalah sebagai berikut.
a. Berorientasi teman sebaya
b. Memiliki fokus permasalahan yang cenderung sama dan seirama.
28
c. Para anggotanya cenderung memiliki karakteristik unik yang
terkadang dianggap aneh di pandang masyarakat.
d. Memiliki dasar ideologis
3. Dasar Pemikiran Teoritis
a. Kebanyakan self help group didasarkan pada teori sosiologi atau
psikologi. Pendekatan Self help group dalam pelaksanaannya
didasarkan pada teori psikologis atau kemasyarakatan. Berbagai
masalah psikologi individu atau kesulitan yang dialami individu dalam
masyarakat sering dihadapi. Karena itu, individu dibantu melalui cara
bekerja dengan orang lain yang berlatar belakang sama melalui
kelompok dalam masyarakat.
b. Mekanisme perubahan yang terjadi dalam self help group, di
antaranya adalah sebagai berikut.
1). Pemberian dukungan yang saling menguntungkan: melalui Self help
groupakan memberikan dukungan sosial untuk men-support dampak
psikologis dalam peristiwa hidupnya yang kurang baik, penuh tekanan,
karena satu sama lainnya saling memberikan dukungan yang saling
menguntungkan.
2). Terapi pertolongan: melakukan sesuatu bagi orang lain, yaitu
memberikan pada seseorang rasa kebercukupan dan keberdayaan. Self
help groupdapat dijadikan sebagai metode “Terapi Pertolongan” yang
dapat memberi suatu perasaan nyaman, dalam upaya penguatan,
29
karena faktor terapeutik dalam Self help groupdidasarkan atas dimensi
efektif, behavioral, dan kognitif (Cole, 1983; Yalon, 1985).
3). Peran Ideologi: ada keyakinan pada Self help groupbahwa intervensi
bisa diterapkan. Dalam intervensinya ideologi mempunyai peran penting,
salah satunya dengan menanamkan rasa kepercayaan dan kejujuran
bagi anggotanya. Semua anggota kelompok diberi kesempatan untuk
berubah dan didorong untuk mencapai tujuan mereka sendiri, dan bila
mereka berhasil mencapai tujuan personal, maka kehidupan mereka jadi
terkontrol, dan selanjutnya keberhasilan dengan sendirinya akan dicapai.
Namun apabila mereka belum berhasil, mereka tetap diterima dan
didorong untuk mencoba lagi agar berhasil.
Disamping itu Rasa kepercayaan yang ditanamkan dan dibina
pada anggota self help group diantaranya meliputi hal-hal berikut.
Pertama, kepercayaan bahwa orang-orang yang mempunyai masalah
atau status yang sama dapat saling membantu dengan cara yang paling
baik. Kedua, kepercayaan bahwa orang mempunyai tanggung jawab
terhadap orang-orang lain. Ketiga, kepercayaan bahwa suatu kelompok
dapat menjadi suatu sarana yang efektif untuk membantu para
anggotanya agar menerima diri mereka sendiri menurut apa adanya dan
memecahkan masalah-masalah, sehingga mereka dapat meningkatkan
harga diri mereka. Keempat, kepercayaan akan pentingnya model
peranan dari seorang anggota kelompok yang telah berhasil baik
memecahkan masalahnya. Kelima, kepercayaan bahwa seorang
30
anggota kelompok yang baik akan selalu siap untuk membantu anggota
yang lain jika diperlukan. Keenam, parameter esensial: tiap-tiap anggota
akan memberikan dan mendapatkan bantuan untuk masalah gangguan
hidup serupa. Proses kelompok dicirikan dengan respon empatis dan
menurunnya penilaian buruk (skeptisme). Dengan landasan ideolgi
dapat dijadikan faktor perubahan bagi kesatuan anggota, yang
memberikan parameter penting bagi masing-masing anggota untuk
mengevaluasi permasalahan kehidupannya.
4.Strategi dan teknik-teknik self help group yang digunakan adalah
sebagai berikut.
a. Memberikan perasaan diterima dan menjadi bagian dari
kelompok kepada para anggota.
b. Memberikan dukungan moral dengan pengertian
bahwasannya para anggota mempunyai masalah atau status
yang sama
c. Memberikan kesempatan kepada para anggota agar
mengutarakan masalah-masalah mereka, saling
membicarakan perasaan-perasaan, dan menerima nasehatnasehat
tentang pemecahan masalah dari anggota-anggota
lain.
31
d. Memberikan model-model peranan yang diambil dari anggotaanggota
kelompok yang telah berhasil dalam penanggulangan
masalah-masalah atau situasi-situasi mereka.
e. Memberikan kesempatan kepada para anggota kelompok
agar mengadakan hubungan dengan kelompok-kelompok
lainnya di dalam masyarakat untuk tujuan peningkatan
pemahaman akan masyarakat dan pelayanan-pelayanan
yang terdapat di dalamnya. Kegiatan semacam ini diharapkan
juga dapat meningkatkan kepercayaan anggota kepada diri
sendiri dan memperkuat loyalitas mereka terhadap kelompok
maupun tujuan-tujuannya.
5. Peran Sebagai Pemimpin
a. Pemimpin memainkan peranan yang kurang penting. Jika
pemimpin terlalu bersifat mengarahkan atau mengontrol, maka
pengaruh terapi pertolongan, pemberdayaan individual dan
ideologi self help akan terhambat. Kebanyakan Self help
groupcenderung untuk mengurangi peranan pemimpin.
Kelompok-kelompok ini diorganisasi atas dasar partisipasi
kelompok secara demokratis. Para anggotanya didorong agar
bertanggung jawab penuh di dalam kelompok.
b. Peran profesional dalam Self help groupmencakup: pembicara
tamu, pemimpin atau wakil pemimpin, konsultan atau advisor,
32
pengelola dan koordinator, pengamat kelompok, evaluator dan
atau perwakilan nara sumber.
c. Seorang pemimpin yang otoriter atau totaliter yang dapat
menimbulkan kerusakan terhadap anggota lainnya.
6. Tujuan dan Sasaran
Secara umum tujuan yang akan dicapai dalam self help group adalah
sebagai berikut.
a. Membantu anggota kelompok yang baru untuk mulai aktif dan
mampu mewujudkan kehidupan yang sukses.
b. Terciptanya ideologi pada tiap anggota kelompok untuk
memudahkan adaptasi di antara anggota kelompok dalam
menghadapi permasalahan di dalam anggotanya.
c. Terciptanya pemahaman nilai-nilai spiritual sebagai aturan untuk
berperilaku dan semboyan dalam membentuk kepercayaan
kelompok dan menjadi pengikat satu sama lain, sebagai sesama
anggota dalam mewujudkan kesetiakawanan dalam menghadapi
permasalahan bersama (masalah umum).
C. PEMBAHASAN
Berdasarkan kepada kedua pendekatan kelompok yang telah di
paparkan pada bagian di atas, maka dalam pembahasan ini pun akan
berangkat dari kedua pendekatan tersebut
33
Pendekatan kelompok pertama, membahas tentang ‘Teknik-
Teknik bagi Kelompok Pra nikah’, yang di bimbing oleh tiga orang
pendeta dari status sosial yang berbeda. Teknik-teknik pendekatannya
dilakukan melalui kursus / latihan yang dilaksanakan secara
berkelompok, berpasang-pasangan dengan setiap calon pasangannya.
Pendekatannya dilakukan dengan melalui berbagai teknik seperti :
ceramah, daftar kuesioner bagi para peserta, simulasi, dan tayangan
media elektronik melalui tayangan video.
Untuk mengevaluasi efektifitas dari pelaksanaan pendekatan
kelompok pra nikah melalui kursus ini, 326 pasangan yang telah
mengikuti kursus pada tahun 1971 dan 1972 diundang untuk
berpartisipasi dalam studi lanjutan di hari jadi pernikahan mereka yang
pertama. Dari 149 pasangan yang bersedia diuji, diketahui terdapat
hubungan positif antara penyesuaian pranikah dan penyesuaian
berikutnya di awal masa pernikahan (Rolfe, 1975a). Disamping itu,
dengan menggunakan grup kontrol, diketahui bahwa dengan mengikuti
kursus persiapan pernikahan secara signifikan dapat meningkatkan
kepuasan berikutnya dalam pernikahan.
Pelatihan ini telah berhasil diselenggarakan di berbagai daerah di
AS dan Kanada, dan diterima baik di Selandia Baru dan Australia.
Mungkin di Inggris dapat berhasil juga.
Terkait dengan keberhasilan yang sudah di tempuh melalui
kelima teknik-teknik yang sudah di uraikan pada bagian pertama diatas,
34
membukakan inspirasi bagi penulis dalam rangka mempersiapkan
pembuatan disertasi tentang konseling pra nikah dengan mencoba
menerapkan kelima teknik-teknik dalam pendekatan kelompok terhadap
para mahasiswa, khususnya mahasiswa UPI yang sudah menempuh
semester enam keatas.
Sekilas mencoba mengimplementasikan kelima teknik berikut
melalui pendekatan kelompok dalam rangka pemberian layanan bantuan
konseling pra nikah bagi mahasiswa.
1. Interaksi Pernikahan. Diawali dengan ceramah singkat untuk
menstimulasi para peserta , agar segera dapat mendiskuasikan
tentang makna interaksi pernikahan, yang salah satunya dapat
ditinjau dari sudut pandang peran,fungsi , tugas dan tanggung
jawab calon pasangan masing-masing baik sebagai istri maupun
suami. Selanjutnya peserta bersama-sama konselor mencoba
membuat daftar pernyataan tentang aspek-aspek yang
dikemukakan diatas sesuai perannya masing-masing. Sampai
akhirnya dapat ditemukan hal-hal yang terkait dengan sudut
pandang yang sama sampai kepada yang sangat berbeda.
Sehingga diharapkan peserta mampu merefleksikan dirinya ,
khususnya dalam mengantisipasi serta mensikapi interaksi di
dalam pernikahan khususnya terhadap masing-masing
pasangan.
35
2. Manajemen Keuangan. Kajian ini sangat penting, karena
bagaimana pun siapnya para calon pasangan menjalani
kehidupan bersama dalam keluarga, kesepakatan dalam
mengelola keuangan adalah sebagai ‘alat’ interaksi
keterbuakaan yang utama dan pertama. Secara tinjauan islami,
keuangan merupakan fungsi ekonomi yang diperankan kepada
seorang suami sebagai pencari nafkah, dan tentunya seorang
suami tidak dibebani dalam memberi nafkah, melainkan menurut
kadar kesanggupannya dengan cara yang ma’ruf (Al-Qur’an,
Surat Al-Baqarah : 223).
3. Peran dan Tugas sebagai Orang Tua ( Parenthood). Diawal
kegiatan konselor berupaya untuk mendiskusikan terlebih dahulu
tentang tema di atas, sampai akhirnya peserta dapat diberi
kesempatan untuk mengemukakan ekspektasi masing-masing
tentang gambaran peran,tugas, dan tanggung jawab masingmasing
pasangan, serta mampu memperkirakan perubahan
yang terjadi di dalam pernikahan setelah kehadiran anak-anak.
4. Dimensi – dimensi Keagamaan dalam Pernikahan. Bidangbidang
topik yang dapat dibahas pada bagian ini, dapat
berangkat dari tema-tema keluarga yang mencakup ; hubungan
pernikahan, perencanaan keluarga, memperoleh keturunan, sifatsifat
sakral pernikahan sesuai perintah agama. Sebagaimana
dalam Al-Qur’an, surat Al-Tahrim ayat enam, difirmankan : “Hai
36
orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari
siksa api neraka”. Ayat ini memberikan isyarat bahwa, keluarga
berfungsi sebagai penanam nilai-nilai agama kepada anak,
sehingga menjadi pedoman hidup yang benar.
5. Masalah Seks. Tema ini sangat penting untuk dibahas dengan
para peserta, terkait dengan usia mahasiswa semester enam
keatas sudah termasuk kepada fase usia dewasa, dimana salah
satu tugas perkembangan yang harus diselesaikannya adalah
tentang mempersiapkan pernikahan , hidup berkeluarga, dan
memelihara anak. Tugas perkembangan ini menggiring kepada
hikmah dan makna sebuah pernikahan yang diantaranya adalah
‘untuk penyaluran nafsu seksual secara benar dan sah.’
(Dadang Hawari, 2006 :60).
Pendekatan kelompok kedua, membahas tentang Self Help
Group. Kondisi dan cara serta pendekatan yang dilakukan melalui
pendekatan self help group seperti yang dikemukakan di atas,
memberikan peluang yang sangat tepat terhadap pelaksanaan konseling
pra nikah dengan melalui pendekatan kelompok. Seperti dikemukakan
oleh Rochman Natawidjaja (1987 : 39) bahwa, Bantuan diri ( self help
group) dimaksudkan untuk melindungi diri peserta-pesertanya dari
tekanan-tekanan psikologis dan memberikan dorongan kepada setiap
anggotanya untuk mulai mengubah kehidupannya menjadi lebih positif.
37
Terkait dengan pendapat di atas, W.S. Winkel (1991 : 464)
mengemukakan bahwa self help group adalah Self help group yang
diperuntukan bagi bagi para klien yang menyadari telah ketagihan dan
atau alkohol. Mereka berkumpul bersama dengan orang-orang yang
senasib dan saling memberikan dukungan dalam upaya melepaskan
diri dari belenggu ketagihan. Kelompok ini kerap di pimpim oleh orang
yang pernah mengalami ketagihan dan telah berhasil melepaskan diri
dari kebiasaannya yang buruk itu. Kelompok ini dapat beranggotakan
agak banyak dan pada umumnya bersifat terbuka dan berstruktur
informal. Kelompo-kelompok ini bergerak di luar pendidikan sekolah. Di
Indonesia kelompok semacam ini tidak dikenal. Siswa dan Mahasiswa
yang ketagihan obat bius biasanya ditampung di pusat-pusat
rehabilitasi khusus yang diikutsertakan dalam terapi kelompok.
Permasalahan yang dihadapi oleh self help group adalah sama,
dengan masalah yang sama tersebut para anggotanya akan merasa
senasib dan sepenanggungan. Perasaan itu akan memberi kekuatan
hati masing-masing anggota bahwa ia tidak sendiri.Sehingga timbul
dorongan untuk bergabung saling menguatkan dan saling memberi
dukungan. Hal tersebut merupakan faktor yang menentukan
keberhasilan bagi kelompoknya. Dukungan antar anggota kelompok
akhirnya dapat mensupport dampak psikologis akibat dari kesulitan atau
tekanan hidupnya. Dengan demikian kelompok dapat menjadi sarana
yang efektif untuk membantu para anggotanya agar menerima diri
38
mereka sendiri seperti apa adanya,dan dapat memecahkan masalah
yang dihadapi .Hal tersebut dapat meningkatkan harga diri mereka.
Peran anggota kelompok yang telah berhasil memecahkan
masalahnya, sangat penting untuk dijadikan contoh bagi
anggotanya.Disamping untuk untuk membuktikan keberhasilannya juga
dapat menambah kepercayaan dari para anggotanya. Disini justru
peranan pemimpin dalam kelompok kurang penting, karena pemimpin
yang menjadi otoriter dapat menimbulkan kerusakan hubungan terhadap
anggota lainnya. Kelompok ini diorganisasi atas dasar partisipasi
kelompok secara demokratis dan sukarela dan para anggotanya
didorong agar bertanggung jawab penuh. Dengan tidak adanya seorang
profesional yang memimpin kelompok ini mengakibatkan kurangnya
pengawasan terhadap anggota kelompok dan dapat terjadi interpretasi
ideologis yang berlebihan terhadap proses kelompok.
Merujuk kepada kedua pendapat para ahli yang telah dipaparkan
di atas, maka peran, fungsi , tujuan , serta mafaat pendekatan konseling
kelompok melalui self help group di terapkan bagi kelompok mahasiswa
cenderung sangat tepat, karena pada usia mahasiwa adalah usia yang
menuntut untuk lebih berorientasi terhadap kebersamaan dalam berbagi
pengalaman, baik dalam hal tuntutan akademik, sosial, maupun secara
personal. Demikian pula dengan permasalahan secara personal yang
terkait dengan rencana menjalani hidup berkeluarga melalui pernikahan,
yang sudah mulai sangat kental dihadapi para mahasiswa khususnya
39
yang cenderung sudah menginjak semester enam keatas. Sehingga
secara tidak disadari menjadi pengalaman secara bewrsama diantara
para mahasiswa sendiri.
Pengalaman dalam kebersamaan ini akan menjadi bahan rujukan
dalam mengambil setiap keputusan dan komitmen diri. Sehingga setiap
bantuan yang diperoleh melalui siapapun, cenderung akan berakhir
dengan bantuan diri yang perlu disikapi secara lebih mandiri. Amiiin ….
D. KESIMPULAN
Pendekatan konseling kelompok melalui self help group didasari
oleh pandangan sosiologi dan psikologi, artinya melalui pendekatan self
help group diharapkan dapat memberikan dukungan sosial untuk
mensupport dampak psikologis dalam peristiwa kurang baik yang
dialami individu. Sehingga satu sama lainnya saling memberikan
dukungan yang saling menguntungkan.
Tujuan utama self help group adalah diharapkan tiap individu
memperoleh perubahan dan perbaikan pada diri sendiri melalui
peningkatan kesadaran atau penyesuaian yang lebih baik terhadap
norma sosial dan perubahan masyarakat.
Pelaksanaan program pertemuan dalam self help group tidak ada
diskriminasi, karena siapapun dapat menjadi anggota. Akses kelompok
terbika berbagi pengalaman dalam menjalani kehidupan secara
produktif.
40
Dalam self help group akan melibatkan seorang profesional yang
berperan sebagai fasilitator untuk membantu memfasilitasi anggota
kelompok dalam memberikan kemudahan pelaksanaan program
pertemuan kelompok serta memfasilitasi berbagai sumber-sumber yang
dapat diperlukan anggota kelompok untuk mencapai perbaikan diri
masing-masing individu.
E. DAFTAR PUSTAKA
Lawrence M.Brammer. The Helping Relationship Process and Skill.
Prentice Hall International Editions.
Natawidjaja, Rochman. 1987. Pendekatan-Pendekatan Dalam
Penyuluhan Kelompok I. Penerbit : CV. Dipenogoro. Bandung.
Trull, Timothy. 2005. Clinical Psychology University of Missouri
Columbia:USA.
Winkel, W.S. 1991. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan.
Penerbit : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
41

CARA MENENTUKAN SISWA YANG MENGALAMI MASALAH BELAJAR_TUGAS KULIAH

 

Pendahuluan

Latar Belakang
Tugas utama seorang guru adalah membelajarkan siswa. Ini berarti bahwa bila guru bertindak mengajar, maka diharapkan siswa berajar atau belajar. Namun adakalanya didalam kegiatan belajar mengajar di sekolah sering ditemukannya masalah-masalah yang berkenaan dengan belajar yang dialami siswa tersebut. Masalah-masalah tersebut dipengaruhi oleh faktor internal (yang berasal dari dalam diri siswa itu sendiri) dan juga oleh faktor eksternal (yang berasal dari luar siswa itu sendiri). Masalah-masalah yang dialami oleh siswa apabila tidak segera di atasi tentunya akan menghambat proses belajar siswa dan akan berdampak pada pencapaian tujuan dari belajar tersebut. Siswa akan berhasil dalam proses belajar apabila siswa itu tidak mempunyai masalah yang dapat mempengaruhi proses belajarnya. Jika terdapat siswa yang mempunyai masalah dan permasalahan siswa tersebut tidak segera ditemukan solusinya, siswa akan mengalami kegagalan atau kesulitan belajar yang dapat mengakibatkan rendah prestasinya/tidak lulus, rendahnya prestasi belajar, minat belajar atau tidak dapat melanjutkan belajar. Untuk itu, sebagai seorang guru ataupun pendidik kita harus mengetahui kondisi siswa agar tercipta proses pembelajaran yang baik dan kondusif.
Rumusan masalah

Apakah pengertian dari masalah belajar?
Jelaskan masalah-masalah yang mempengaruhi proses belajar?
Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar?
Jelaskan langkah-langkah yang ditempuh untuk menjamin keberhasilan belajar?
Jelaskan masalah belajar siswa?
Jelaskan upaya-upaya penanggulangan masalah belajar?

Tujuan
Tujuan dari pembelajaran mengenai cara menentukan masalah-masalah yang dialami siswa :
Pembaca mengetahui definisi dari masalah belajar.
Pembaca dapat mengidentifikasi masalah-masalah yang mempengaruhi proses belajar.
Pembaca dapat menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar.
Pembaca dapat menentukan langkah-langkah yang ditempuh untuk menjamin keberhasilan belajar siswa.
Pembaca dapat menanalisis masalah belajar siswa.
Pembaca dapat menemukan solusi untuk penanggulangan atau pemecahan masalah-masalah pembelajaran.





Pembahasan
Definisi Masalah Belajar
masalah adalah ketidaksesuaian antara harapan dengan kenyataan, ada yang melihat sebagai tidak terpenuhinya kebutuhan seseorang, dan adapula yang mengartikannya sebagai suatu hal yang tidak mengenakan. Prayitno (1985) mengemukakan bahwa masalah adalah sesuatu yang tidak disukai adanya, menimbulkan kesulitan bagi diri sendiri dan atau orang lain, ingin atau perlu dihilangkan. Sedangkan menurut pengertian secara psikologis, belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan dalam tingkah laku sebagai hasil dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengertian belajar dapat didefinisikan “Belajar ialah sesuatu proses yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”.
“Belajar adalah proses perubahan pengetahuan atau perilaku sebagai hasil dari pengalaman. Pengalaman ini terjadi melalui interaksi antara individu dengan lingkungannya” ( Anita E, Wool Folk, 1995 : 196 ).
Menurut ( Garry dan Kingsley, 1970 : 15 ) “Belajar adalah proses tingkah laku (dalam arti luas), ditimbulkan atau diubah melalui praktek dan latihan”.
Sedangkan menurut Gagne (1984: 77) bahwa “belajar adalah suatu proses dimana suatu organisasi berubah perilakunya sebagai akibat pengalaman”. Dari definisi masalah dan belajar maka masalah belajar dapat diartikan atau didefinisikan sebagai berikut :
“Masalah belajar adalah suatu kondisi tertentu yang dialami oleh murid dan menghambat kelancaran proses yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan”.
Kondisi tertentu itu dapat berkenaan dengan keadaan dirinya yaitu berupa kelemahan-kelemahan dan dapat juga berkenaan dengan lingkungan yang tidak menguntungkan bagi dirinya. Masalah-masalah belajar ini tidak hanya dialami oleh murid-murid yang lambat saja dalam belajarnya, tetapi juga dapat menimpa murid-murid yang pandai atau cerdas.
Dalam interaksi belajar mengajar siswa merupakan kunci utama keberhasilan belajar selama proses belajar yang dilakukan. Proses belajar merupakan aktivitas psikis berkenaan dengan bahan belajar.
Faktor-Faktor yang dialami dan dihayati oleh siswa dan hal ini akan sangat berpengaruh terhadap proses belajar:
Faktor-Faktor Internal Belajar
Untuk bertindak belajar siswa menghadapi masalah-masalah secara intern. Jika siswa tidak dapat mengatasi masalahnya, maka ia tidak dapat belajar dengan baik.
• Sikap Terhadap Belajar
Sikap merupakan kemampuan memberikan penilaian tenyang sesuatu, yang membawa diri sesuai dengan penilaian. Adanya penilaian terhadap sesuatu memberikan sikap menerima, menolak atau mengabaikannya begitu saja. Selama melakukan proses pembelajaran sikap siswa akan menentukan hasil dari pembelajaran tersebut. Pemahaman siswa yang salah terhadap belajar akan membawa kepada sikap yang salah dalam melakukan pembelajaran. Sikap siswa ini akan mempengaruhinya terhadap tindakana belajar. Sikap yang salah akan membawa siswa mersa tidak peduli dengan belajar lagi. Akibatnya tidak akan terjadi proses belajar yang kondusif. Tentunya hal ini akan sangat menghambat proses belajar. Sikap siswa terhadap belajar akan menentukan proses belajar itu sendiri. Ketika siswa sudah tidak pesuli terhadap belajar maka upaya pembelajaran yang dilakaukan akan sia-sia. Maka siswa sebaiknya mempertimbangkan masak-masak akibat sikap terhadap belajar.
• Motivasi Belajar
Tidak diragukan bahwa dorongan belajar mempunyai peranan besar dalam menumbuhkan semangat pada siswa untuk belajar. Karena seorang siswa meski memiliki semangat yang tinggi dan keinginan yang kuat, pasti akan tetap ditiup oleh angin kemalasan, tertimpa keengganan dan kelalaian. Maka tunas semangat ini harus dipelihara secara terus menerus.
Motivasi belajar merupakan kekuatan mental yang mendorong terjadinya proses belajar. Lemahnya motivasi atau tiadanya motivasi belajar akan melemahkan kegiatan belajar. Selanjutnya mutu belajar akan menjadi rendah. Oleh karena itu motivasi belajar pada diri siswa perlu diperkuat terus menerus.
Motivasi yang diberikan dapat meliputi penjelasan tentang keutamaan ilmu dan keutamaan mencari ilmu. Bila siswa mengetahui betapa besarnya keutamaan sebuah ilmu dan betapa besarnya ganjaran bagi orang yang menuntut ilmu, maka siswa akan merasa haus untuk menuntut ilmu. Selain itu bagaimana seorang guru mampu membuat siswanya merasa membutuhkan ilmu. Bila seseorang merasa membutuhkan ilmu maka tanpa disuruhpun siswa akan mencari ilmu itu sendiri. Sehingga semangat siswa untuk menunutut ilmu sangat tinggi, dan hal ini akan memudahkan proses belajar.
• Konsentrasi Belajar
Konsentrasi belajar merupakan kemampuan memusatkan perhatian pada pelajaran. Pemusatan perhatian tersebut tertuju pada isi bahan belajar maupun proses memperolehnya. Untuk memperkuat perhatian guru perlu melakukan berbagai strategi belajar mengajar dan memperhatikan waktu belajar serta selingan istirahat. Yang perlu diperhatikan oleh guru ketika memulai proses belajar ialahsebaiknya seorang guru tidak langsung melakukan pembelajaran namun seorang guru harus memusatkan perhatian siswanya sehingga siap untuk melakukan pembelajaran. Sebab ketika awal masuk kelas perhatian siswa masih terpecah-pecah dengana berbagai masalah. Sehingga sangat perlu untuk melkukan pemusatan perhatian dengan berbagai strategi.
Menurut seorang ilmuan ahli psikologis kekuatan belajar seseorang setelah tigapuluh menit telah mengalami penurunan. Ia menyarankan agar guru melakukan istirahat selama beberapa menit. Istirahat ini tidak harus keluar kelas melainkan dapat berupa obrolan ringan yang mampu membuat siswa merasa rileks kembali. Dengan memberikan selingan istirahat, maka perhatian dan prestasi belajar dapat ditingkatkan.
• Mengolah Bahan Belajar
Mengolah bahan belajar merupakan kemampuan siswa untuk menrima isi dan cara pemerolehan ajaran sehingga menjadi bermakna bagi siswa. Isi bahan belajar merupakan nilai nilai dari suatu ilmu pengetahuan, nilai agama, nilai kesusilaan, serta nilai kesenian. Kemampuan siswa dalam mengolah bahan pelajaran menjadi makin baik jika siswa berperan aktif selama proses belajar. Misalnya, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya materi yang disampaikan, sehingga siswa benar-benar memahami materi yang telah disampikan. Siswa akan mengolah bahan belajar dengan baik jika mereka merasa materi yang diampaikan menarik, sehingga seorang guru sebaiknya menyampaikan materi secara menarik sehingga siswa akan memusatkan perhatiannya terhadap materi yang disampaikan oleh guru.
• Menyimpan Perolehan Hasil Belajar
Menyimpan perolehan hasil belajar merupakan kemampuan menyimpan isi pesan dan cara perolehan pesan. Kemampuan menyimpan tersebut dapat berlangsung dalam jangka waktu yang pendek maupun dalam jangka waktu yang panjang. Proses belajar terdiri dari proses pemasukan , proses pengolahan kembali dan proses penggunaan kembali. Biasanya hasil belajar yang disimpan dalam jagka waktu yang panjang akan mudah dilupakan oleh siswa. Hal ini akan terjadi jika siswa tidak membuka kembali bahan belajar yang telah diberikan oleh seorang guru.
Untuk mengatasi hal ini sebaiknya guru mengingatkan akan materi yang telah lama diberikan, serta memberikan pertanyaan yang berkaitan dengan materi tersebut. Sehingga mau atau tidak mau siswa akan berusaha untuk mengingat kembali materi yang telah lama disampaikan serta membuka kembali buku yang berkaitan dengan materi tersebut. Sehingga Ingatan yang disimpan dalam jangka panjang akan semakin kuat.
• Menggali Hasil Belajar Yang Tersimpan
Menggali hasil belajar yang tersimpan merupakan proses mengaktifkan pesan yang telah diterima. Dalam hal baru maka siswa akan memperkuat pesan dengan cara mempelajari kembali atau mengaitkannya dengan bahan lama. Dalam hal pesan lama maka siswa akan memanggil atau membangkitkan kembalipesan dan pengalaman lama untuk suatu unjuk hasil belajar. Ada kalanya siswa mengalami gangguan dalam menggali pesan dan kesan lama. Gangguan tersebut bukan hanya bersumber pada pemanggilan atau pembangkitannya sendiri. Gangguan tersebut dapat dikarenakan kesukaran penerimaan, pengolahan dan penyimpanan. Jika siswa tidak memperhatikan dengan baik pada saat penerimaan maka siswa tidak memiliki apa apa. Jikasiswa tidak berlatih sungguh sungguh maka siswa tidak akan memiliki ketrampilan.
• Kemampuan Berprestasi
Kemampuan berprestasi atau unjuk hasil belajar merupakan puncak suatu proses belajar. Pada tahap ini siswa membuktikan hasil belajar yang telah lama ia lakukan. Siswa menunjukan bahwa ia telah mampu memecahkan tugas-tugas belajar atau menstransfer hasil belajar. Dari pengalaman sehari-hari di sekolah diketahui bahwa ada sebagian siswa tidak mampu berprestasi dengan baik. Kemampuan berprestasi tersebut terpengaruh pada proses-proses penerimaan, pengaktifan, pra-pengolahan, pengolahan, penyimpanan, serta pemanggilan untuk pembangkitan pesan dan pengalaman.
• Rasa Percaya Diri Siswa
Rasa percaya diri timbul dari keinginan mewujudkan diri bertindak dan berhasil. Dari segi perkembangan, rasa percaya diri dapat timbul berkat adanya pengakuan dari lingkungan. Dalam proses belajar diketahui bahwa unjuk prestasi merupakan tahap pembuktian perwujudan diriyang diakui oleh guru dan rekan sejawat siswa. Semakin sering siswa mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik maka rasa percaya dirinya akan meningkat. Dan apabila sebaliknya yang terjadi maka siswa akan merasa lemah percaya dirinya.
• Intelegensi Dan Keberhasilan Belajar
Intelegensi merupakan suatu kecakapan global atau rangkuman kecakapan untuk dapat bertindak secara terarah, berpikir secara baik dan bergaul dengan lingkungan secara efisien. Kecakapan tersebut menjadi actual bila siswa memecahkan masalah dalam belajar atau kehidupan sehari-hari.
Dengan perolehan hasil belajar yang rendah, yang disebabkan oleh intelegensi yang rendah atau kurangnya kesungguhan belajar, berarti terbentuknya tenaga kerja yang bermutu rendah . Hal ini akan merugikan calon tenaga kerja itu sendiri. Oleh karena itu pada tempatnya mereka didorong untuk melakukan belajar dibidang kterampilan.

• Kebiasaan Belajar
Kebiasaan-kebiasaan belajar siswa akan mempengaruhi kemampunanya dalam berlatih dan menguasai materi yang telah disampaikan oleh guru. Kebiasaan buruk tersebut dapat berupa belajar pada akhir semester, belajar tidak teratur, menyia-nyiakan kesempatan belajar, bersekolah hanya untuk bergengsi, datang terlambat bergaya pemimpin, bergaya jantan seperti merokok. Kebiasaan-kebiasaan buruk tersebut dapat ditemukan di sekolah-sekolah pelosok, kota besar, kota kecil. Untuk sebagian kebiasaan tersebut dikarenakan oleh ketidakmengertian siswa dengan arti belajar bagi diri sendiri.
• Cita-Cita Siswa
Cita-cita sebagai motivasi intrinsic perlu didikan. Didikan memiliki cita-cita harus ditanamkan sejak mulai kecil. Cita-cita merupakan harapan besar bagi siswa sehingga siswa selalu termotivasi untuk belajar dengan serius demi menggapai cita-cita tersebut. Dengan mengaitkan pemilikan cita-cita dengan kemampuan berprestasi maka siswa diharapkan berani bereksplorasi sesuai dengan kemampuannya sendiri.
Faktor-Faktor Ekstern Belajar
Proses belajar didorong oleh motivasi intrinsik siswa. Disamping itu proses belajar juga dapat terjadi, atau menjadi bertambah kuat, bila didorong oleh lingkungan siswa. Dengan kata lain aktifitas belajar dapat meningkat bila program pembelajaran disusun dengan baik. Program pembelajaran sebagai rekayasa pendidikan guru di sekolah merupakan faktor eksternal belajar. Ditinjau dari segi siswa, maka ditemukan beberapa faktor eksternal yang berpengaruh pada aktivitas belajar. Faktor-faktor eksternal tersebut adalah sebagai berikut:
• Guru Sebagai Pembina Siswa Belajar
Guru adalah pengajar yang mendidik . Ia tidak hanya mengajar bidang studi yang sesuai dengan keahliannya, tetapi juga menjadi pendidik pemuda generasi bangsanya. Guru yang mengajar siswa adalah seorang pribadi yang tumbuh menjadi penyandang profesi bidang studi tertentu. Sebagai seorang pribadi ia juga mengembangkan diri menjadi pribadi utuh. Sebagai seorang diri yang mengembangkan keutuhan pribadi, ia juga menghadapi masalah pengembangan diri, pemenuhan kebutuhan hidup sebagai manusia.
Dengan penghasilan yang diterimanya setiap bula ia dituntut berkemampuan hidup layak sebagai seorang pribadi guru. Tuntutan hidup layak tersebut sesuai dengan wilayah tempat tinggal dan tugasnya. Guru juga menumbuhkan diri secara professional. Ia bekerja dan bertugas mempelajari profesi guru sepanjang hayat. Mengatasi masalah-masalah keutuhan secara pribadi, dan pertumbuhan profesi sebagai guru merupakan pekerjaan sepanjang hayat. Kemampuan mengatasi kedua masalah tersebut merupakan keberhasilan guru membelajarkan seorang siswa.
• Prasarana Dan Sarana Pembelajaran
Prasarana pembelajaran meliputi sarana olahraga, gedung sekolah ruang belajar, tempat ibadah, ruang kesenian, dan peralatan olahraga. Sarana pembelajaran meliputi buku pelajaran, buku bacaan, alat dan fasilitas laboratorium sekolah dan berbagai media pengajaran yang lain. Lengkapnya sarana dan prasarana pembelajaran merupakan kondisi pembelajaran yang baik. Hal ini tidak berarti bahwa lengkapnya sarana dan prasarana menentukan jaminan melakukan proses pembelajaran yang baik. Justru disinilah muncul bagaimana mengolah sarana dan prasaranapembelajaran sehingga tersenggara proses belajar yang berhasil dengan baik.
• Kebijakan Penilaian
Kegiatan penilaian merupakan proses belajar mencapai puncaknya pada hasil belajar siswa atau unjuk kerja siswa. Sebagai suatu hasil maka dengan unjuk kerja tersebut maka proses belajar berhenti untuk sementara. Dan terjadilah penilaian. Hasil belajar merupakan hasil proses belajar. Pelaku aktif dalam belajar adalah siswa. Pelaku aktif dalam pembelajaran adalah guru. Dengan demikian, hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi, dari sisi siswa hasil belajar merupak tingkat perkembangan mental yang lebing baik bila dibandingkan pada saat pra belajar. Tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, efektif, dan psikomotorik. Hasil belajar dinilai dari ukuran-ukuran guru, tingkat sekolah dan tingkat nasional. Jika digolonhkan lulus maka dapay dikatakan proses belajar siswa dan tindak mengajar guru berhenti sementara. Jika digolongkan tidak lulus, terjadilah proses belajar ulang bagi siswa dan mengajar ulang bagi guru.
• Lingkungan Sosial Siswa Di Sekolah
Tiap siswa dalam lingkungan sosial memiliki kedudukan, peranan dan tanggung jawab sosial tertentu. Dalam kehidupan tersebut terjadi pergaulan seperti hubungan sosial tertentu. Dalam kehidupan tersebut terjadi hubungan akrab kerjasama, kerja berkoprasi, berkompetisi, bersaing, konflik atau perkelahian.
• Kurikulum Sekolah
Kurikulum yang diberlakukan di sekolahadalah kurikulum nasional yang disahkan oleh pemerintah, atau yayasan pendidikan. Kurikulum disusun berdasarkan tuntutan kemajuan masyrakat. Dengan kemajuan dan perkembangan masyrakat timbul tuntutan kebutuhan baru dan akibatnya kurikulum sekolah perlu direkonstruksi. Adanya rekonstruksi itu menimbulkan kurikulum baru. Perubahan kurikulum sekolah menimbulkan masalah seperti tujuan yang akan dicapai mungkin akan berubah, isi pendidikan berubah, kegiatan belajar mengajar berubah serta evaluasi berubah.
Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Masalah Belajar
Kesulitan belajar ini merupakan suatu gejala yang nampak dalam berbagai jenis pernyataan (manifestasi). Karena guru bertanggung jawab terhadap proses belajar-mengajar, maka ia seharusnya memahami manifestasi gejala-gejala kesulitan belajar. Pemahaman ini merupakan dasar dalam usaha memberikan bantuan kepada murid yang mengalami kesulitan belajar.
Pada dasarnya dari setiap jenis-jenis masalah, khususnya dalam masalah belajar murid di SD, cenderung bersumber dari faktor-faktor yang melatarbelakanginya ( penyebabnya ). Seorang guru setelah mengetahui siapa murid yang bermasalah dalam belajar serta jenis masalah apa yang dihadapinya. Selanjutnya guru dapat melaksanakan tahap berikutnya, yaitu mencari sebab-sebab terjadinya masalah yang dialami murid dalam belajar. Meskipun seorang guru tidak mudah menentukan sebab-sebab terjadi masalah yang sesungguhnya, karena masalah belajar cenderung sangat kompleks.
Pada garis besarnya sebab-sebab timbulnya masalah belajar pada murid dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori yaitu :
Faktor-faktor Internal ( faktor-faktor yang berada pada diri murid itu sendiri ), antara lain:
• Gangguan secara fisik, seperti kurang berfungsinya organ-organ perasaan, alat bicara, gangguan panca indera, cacat tubuh, serta penyakit menahan ( alergi, asma, dan sebagainya ).
• Ketidakseimbangan mental ( adanya gangguan dalam fungsi mental ), sepertimenampakkan kurangnya kemampuan mental, taraf kecerdasannya cenderung kurang.
• Kelemahan emosional, seperti merasa tidak aman, kurang bisa menyesuaikan diri (maladjustment ), tercekam rasa takut, benci, dan antipati serta ketidakmatangan emosi.
• Kelemahan yang disebabkan oleh kebiasaan dan sikap salah seperti kurang perhatian dan minat terhadap pelajaran sekolah, malas dalam belajar, dan sering bolos atau tidak mengikuti pelajaran.
Faktor Eksternal ( faktor-faktor yang timbul dari luar diri individu ), yaitu berasal dari
a). Sekolah, antara lain :
Sifat kurikulum yang kurang fleksibel
Terlalu berat beban belajar (murid) dan atau mengajar (guru)
Metode mengajar yang kurang memadai
Kurangnya alat dan sumber untuk kegiatan belajar
b). Keluarga (rumah), antara lain :
Keluarga tidak utuh atau kurang harmonis.
Sikap orang tua yang tidak memperhatikan pendidikan anaknya
Keadaan ekonomi.

Menurut Lindgren, (1967 : 55) bahwa lingkungan sekolah, terutama guru. Guru yang akrab dengan murid, menghargai usaha-usaha murid dalam belajar dan suka memberi petunjuk kalau murid menghadapi kesulitan, akan dapat menimbulkan perasaan sukses dalam diri muridnya dan hal ini akan menyuburkan keyakinan diri dalam diri murid. Melalui contoh sikap sehari-hari, guru yang memiliki penilaian diri yang positif akan ditiru oleh muridnya, sehingga murid-muridnya juga akan memiliki penilaian diri yang positif.
Jadi jelaslah bahwa guru yang kurang akrab dengan murid, kurang menghargai usaha-usaha murid maka murid akan merasa kurang diperhatikan dan akan mengakibatkan murid itu malas belajar atau kurangnya minat belajar sehingga anak itu akan mengalami kesulitan belajar. Keberhasilan seorang murid dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari sekolah seperti guru yang harus benar-benar memperhatikan peserta didiknya.
Menurut Belmon dan Morolla (1971 : 107) menyimpulkan dari hasil penelitiannya, bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga yang banyak jumlah anak, mempunyai keterampilan intelektual lebih rendah daripada anak-anak yang berasal dari keluarga yang jumlah anaknya sedikit.
Langkah-langkah yang ditempuh untuk menjamin keberhasilan belajar adalah :
1) Identifikasi masalah siswa, 2) Diagnosa, 3) Prognosa, 4) Pemberian Bantuan, 5) Follow up (tindak lanjut)
1. Identifikasi Masalah Siswa
Identifkasi masalah siswa adalah untuk menentukan siswa yang mengalami kesulitan belajar yang sangat memerlukan bantuan. Langkah ini "sangat mendasar sekali" dan merupakan awal kegiatan bimbingan terhadap siswa yang bermasalah, untuk menentukan masalah yang dialaminya.
Dalam bimbingan belajar siswa, masalah yang terjadi dijaga kerahasiaannya. Dikandung maksud agar siswa yang mengalami permasalahan tidak terbebani, tidak ragu dan tanpa rasa takut mengungkapkan permasalahannya dengan jujur. Metode pengumpulan data melalui observasi, wawancara, instrumen.
2. Diagnosa
Diagnosa dilakukan dalam bimbingan belajar, diartikan sebagai rumusanrumusan masalah siswa, jenis kesulitan serta latar belakang kesulitan dalam pelajaran, serta kesulitan belajar atau masalah yang mengganggu aktivitasnya sehari-hari sehingga mempengaruhi belajarnya.
3. Prognosa
Prognosa merupakan kegiatan memperkirakan permasalahan, apabila siswa yang mengalami kesulitan belajar tidak segera mendapat bantuan. Bertujuan untuk menentukan bantuan yang dapat diberikan kepadanya.
4. Pemberian Bantuan
Bantuan yang diberikan dengan menggunakan pengarahan, motivasi, belajar. Cara mengatasi masalah kesulitan belajar melalui latihan-latihan dan tugas baik individu maupun kelompok, secara rutin.
Dari beberapa pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan yang ditujukan kepada individu atau kelompok siswa agar yang bersangkutan dapat mengenali dirinya sendiri, baik kemampuan yang dimilikinya maupun kelemahannya agar selanjutnya dapat mengambil keputusan dan dapat bertanggung jawab dalam menentukan jalan hidupnya atau memecahkan sendiri kesulitan yang dihadapi serta dapat memahami lingkungannya secara tepat sehingga dapat memperoleh kebahagiaan hidupnya.


Langkah-langkah bimbingan belajar:
1. Mengenal siswa yang mendapat kesulitan belajar dengan menggunakan norma atau ukuran kriteria tertentu.
2. Mencari sebab-sebab siswa mendapat kesulitan.
3. Mencari usaha untuk membantu memecahkan kesulitan-kesulitan itu.
4. Mengadakan pencegahan supaya kesulitan yang dialami seseorang tidak menular kepada yang lain (Sutijono, S, 1991 : 49).
Jika permasalahan siswa tidak segera ditemukan solusinya, siswa akan mengalami kegagalan atau kesulitan belajar yang dapat mengakibatkan rendah prestasinya/tidak lulus, rendahnya prestasi belajar, minat belajar atau tidak dapat melanjutkan belajar (S. Sucitae, 1972 : 2).
5. Tindak Lanjut
Tindak lanjut kegiatan bimbingan belajar, untuk mengevaluasi sejauh mana keberhasilan atau ketidakberhasilan, usaha-usaha memberikan bantuan pemecahan masalah yang telah diberikan.

Kesulitan belajar siswa mencakup pengertian yang luas, diantaranya :
(a) learning disorder; (b) learning disfunction; (c) underachiever; (d) slow learner, dan (e) learning disabilities.
Di bawah ini akan diuraikan dari masing-masing pengertian tersebut.

1. Learning Disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh : siswa yang sudah terbiasa dengan olah raga keras seperti karate, tinju dan sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar menari yang menuntut gerakan lemah-gemulai.

2. Learning Disfunction merupakan gejala dimana proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat dria, atau gangguan psikologis lainnya. Contoh : siswa yang yang memiliki postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola volley, namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak dapat menguasai permainan volley dengan baik.

3. Under Achiever mengacu kepada siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Contoh : siswa yang telah dites kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul (IQ = 130 – 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah sangat rendah.

4. Slow Learner atau lambat belajar adalah siswa yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama.
5. Learning Disabilities atau ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektualnya.
Beberapa perilaku yang merupakan manifestasi gejala kesulitan belajar, antara lain :
a. Menunjukkan hasil belajar yang rendah di bawah rata-rata nilai yang dicapai oleh kelompoknya atau di bawah potensi yang dimilikinya.
b. Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan. Mungkin ada siswa yang sudah berusaha giat belajar, tapi nilai yang diperolehnya selalu rendah
c. Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajarnya dan selalu tertinggal
dari kawan-kawannya dari waktu yang disediakan.
d. Menunjukkan sikap-sikap yang tidak wajar, seperti: acuh tak acuh, menentang, berpura-pura, dusta dan sebagainya.
e. Menunjukkan perilaku yang berkelainan, seperti membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengganggu di dalam atau pun di luar kelas, tidak mau mencatat pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan belajar, dan sebagainya.
f. Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti : pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi situasi tertentu. Misalnya dalam menghadapi nilai rendah, tidak menunjukkan perasaan sedih atau menyesal, dan sebagainya.

Sementara itu, Burton (Abin Syamsuddin. 2003) mengidentifikasi siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar, yang ditunjukkan oleh adanya kegagalan siswa dalam mencapai tujuan-tujuan belajar.
Menurut Burton bahwa siswa dikatakan gagal dalam belajar apabila :
1. Dalam batas waktu tertentu yang bersangkutan tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan materi (mastery level) minimal dalam pelajaran tertentu yang telah ditetapkan oleh guru (criterion reference).
2. Tidak dapat mengerjakan atau mencapai prestasi semestinya, dilihat berdasarkan ukuran tingkat kemampuan, bakat, atau kecerdasan yang dimilikinya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam under achiever.
3. Tidak berhasil tingkat penguasaan materi (mastery level) yang diperlukan sebagai prasyarat bagi kelanjutan tingkat pelajaran berikutnya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam slow learner atau belum matang (immature), sehingga harus menjadi pengulang (repeater)
Untuk dapat menetapkan gejala kesulitan belajar dan menandai siswa yang mengalami kesulitan belajar, maka diperlukan kriteria sebagai batas atau patokan, sehingga dengan kriteria ini dapat ditetapkan batas dimana siswa dapat diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Terdapat empat ukuran dapat menentukan kegagalan atau kemajuan belajar siswa : (1) tujuan pendidikan; (2) kedudukan dalam kelompok; (3) tingkat pencapaian hasil belajar dibandinngkan dengan potensi; dan (4) kepribadian.

Upaya-Upaya Penanggulangan Masalah Belajar
1. Perhatikan Mood
Untuk mengenal mood anak, seorang ibu harus mengenal karakter dan kebiasaan belajar anak. Apakah anak belajar dengan senang hati atau dalam keadaan kesal. Jika belajar dalam suasana hati yang senang, maka apa yang akan dipelajari lebih cepat ditangkap. Bila saat belajar, ia merasa kesal, coba untuk mencari tahu penyebab munculnya rasa kesal itu. Apakah karena pelajaran yang sulit atau karena konsentrasi yang pecah. Nah di sini tugas orangtua untuk menyenangkan hati si anak.

2. Siapkan Ruang Belajar
Kesulitan belajar anak bisa juga karena tempat yang tersedia tidak memadai. Karena itu, coba sediakan tempat belajar untuk anak. Selain itu, saat mengajari anak ini Anda bisa melakukannya dengan menularkan cara belajar yang baik. Misalnya bercerita kepada anak tentang bagaimana dahulu ibunya menyelesaikan mata pelajaran yang dianggap sulit. Biasanya anak cepat larut dengan cerita ibunya sehingga ia mencoba mencocok-cocokkan dengan apa yang dijalaninya sekarang.

3. Komunikasi
Masa kecil kita, pelajaran yang disukai tergantung bagaimana cara guru itu mengajar. Tidak bisa dipungkiri perhatian terhadap mata pelajaran, tentu ada kaitan dengan cara guru mengajar di kelas.
Sempatkan juga waktu dan dengarkan anak-anak bercerita tentang bagaimana cara guru mereka mengajar di sekolah. Jika, anak Anda aktif maka banyak sekali cerita yang lahir termasuk bagaimana guru kelas memperhatikan baju, ikat rambut, dan sepatunya. Khusus soal komunikasi ini, biarkan anak-anak bercerita tentang gurunya. Sejak dini biasakan anak berperilaku sportif dan pandai menyampaikan pendapatnya. Selamat mencoba.
4. Mengidentifikasi siswa yang diperkirakan mengalami kesulitan belajar.
Adapun langkah-langkah mengidentifikasi siswa yang mengalami kesulitan belajar.
a) Menandai siswa dalam satu kelas atau dalam satu kelompok yang diperkirakan mengalami kesulitan belajar baik bersifat umum maupun khusus dalam bidang studi
b) Meneliti nilai ulangan yang tercantum dalam “record academic” kemudian dibandingkan dengan nilai rata-rata kelas atau dengan kriteria tingkat penguasaan minimal kompetensi yang dituntut.
c) Menganalisis hasil ulangan dengan melihat sifat kesalahan yang dibuat.
d) Melakukan observasi pada saat siswa dalam kegiatan proses belajar mengajar yaitu mengamati tingkah laku siswa dalam mengerjakan tugas-tugas tertentu yang diberikan di dalam kelas, berusaha mengetahui kebiasaan dan cara belajar siswa di rumah melalui check list
e) Mendapatkan kesan atau pendapat dari guru lain terutama wali kelas,dan guru pembimbing.

5. Mengalokasikan letaknya kesulitan atau permasalahannya, dengan cara mendeteksi kesulitan belajar pada bidang studi tertentu, seperti catatan keterlambatan penyelesaian tugas, ketidakhadiran, kekurang aktifan dan kecenderungan berpartisipasi dalam belajar.
6. Melokalisasikan jenis faktor dan sifat yang menyebabkan mengalami berbagai kesulitan.
7. Memperkirakan alternatif pertolongan. Menetapkan kemungkinan cara mengatasinya baik yang bersifat mencegah (preventif) maupun penyembuhan (kuratif).



Penutup
Kesimpulan
Kesulitan dalam pembelajaran atau belajar merupakan suatu hal yang sering ditemui oleh para pendidik, terutama guru. Sebagai upaya untuk memberikan terapi terhadap permasalahan kesulitan belajar maka dapat ditempuh melalui berbagai media penanganan yang khusus intensif serta terpadu antara pendidik, siswa dan orang tua di rumah. Karena walau bagaimanapun juga sebagaian waktu anak lebih banyak dihabiskan di rumah dari pada di sekolah di bawah pengawasan orang tua.
Dalam hal ini pendidik dalam hal ini guru di sekolah dan orang tua di rumah dituntut untuk benar-benar mengerti akan tipe atau jenis masalah yang dihadapi oleh siswa/anak. Dengan memahami jenis masalah, diharapkan pendidik mempu memberikan solusi penanggulangan sesuai dengan masalah yang bersangkutan.
Disusun Oleh :Pahlianoor

Makalah Psikologi Belajar – Kesulitan Belajar dan Cara Mengatasinya


Makalah Psikologi Belajar – Kesulitan Belajar dan Cara Mengatasinya. Untuk makalah kali ini saya akan coba share makalah yang disampaikan oleh dosen Mufaro’ah, M.Si yaitu mata kuliah Psikologi Belajar judul makalah Psikologi Belajarkali ini yaitu Kesulitan Belajar dan Cara Mengatasinya, sebelumnya sudah ada makalah yang berhubungan dengan makalah ini yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi belajar. Kesulitan Belajar dan Cara Mengatasinya makalah ini disampaikan oleh kelompok sembilan dengan anggotanya Syahroni, Surya dan Rozita. Berikut isi dari makalah Kesulitan Belajar dan Kiat Cara Mengatasinya tersebut :
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dunia pendidikan mengartikan diagnosis kesulitan belajar sebagai segala usaha yang dilakukan untuk memahami dan menetapkan jenis dan sifat kesulitan belajar. Juga mempelajari faktor-faktor yang menyebabkan kesulitan belajar serta cara menetapkan dan kemungkinan mengatasinya, baik secara kuratif (penyembuhan) maupun secara preventif (pencegahan) berdasarkan data dan informasi yang seobyektif mungkin.
Dengan demikian, semua kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk menemukan kesulitan belajar termasuk kegiatan diagnosa. Perlunya diadakan diagnosis belajar karena berbagai hal. Pertama, setiap siswa hendaknya mendapat kesempatan dan pelayanan untuk berkembang secara maksimal, kedua; adanya perbedaan kemampuan, kecerdasan, bakat, minat dan latar belakang lingkungan masing-masing siswa. Ketiga, sistem pengajaran di sekolah seharusnya memberi kesempatan pada siswa untuk maju sesuai dengan kemampuannya. Dan, keempat, untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi oleh siswa, hendaknya guru beserta BP lebih intensif dalam menangani siswa dengan menambah pengetahuan, sikap yang terbuka dan mengasah ketrampilan dalam mengidentifikasi kesulitan belajar siswa.
Berkait dengan kegiatan diagnosis, secara garis besar dapat diklasifikasikan ragam diagnosis ada dua macam, yaitu diagnosis untuk mengerti masalah dan diagnosis yang mengklasifikasi masalah. Diagnosa untuk mengerti masalah merupakan usaha untuk dapat lebih banyak mengerti masalah secara menyeluruh. Sedangkan diagnosis yang mengklasifikasi masalahmerupakan pengelompokan masalah sesuai ragam dan sifatnya. Ada masalah yang digolongkan kedalam masalah yang bersifat vokasional, pendidikan, keuangan, kesehatan, keluarga dan kepribadian. Kesulitan belajar merupakan problem yang nyaris dialami oleh semua siswa. Kesulitan belajar dapat diartikan suatu kondisi dalam suatu proses belajar yang ditandai adanya hambatan-hambatan tertentu untuk menggapai hasil belajar.
B. Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah :
a. Mengidintifikasi berbagai permasalahan kesulitan pembelajaran.
b. Mengkaji berbagai persoalan tentang permasalahan belajar.
c. Alternatif mengatasi permasalahan pembelajaran.
C. Lingkup Pembahasan
Ruang lingkup pembahasan dalam makalah ini difokuskan pada kesulitan belajar, bimbingan belajar, model pembelajaran yang bisa diaterapkan dan bagaimana mengatasi masalah kesulitan belajar.
BAB II
PEMBAHASAN
a. Kesulitan Belajar
Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan sejumlah karakterisktik siswa yang beraneka ragam. Ada siswa yang dapat menempuh kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit pula siswa yang justru dalam belajarnya mengalami berbagai kesulitan. Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar, dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada di bawah semestinya.
Kesulitan belajar siswa mencakup pengertian yang luas, diantaranya : (a) learning disorder; (b) learning disfunction; (c) underachiever; (d) slow learner, dan (e) learning diasbilities. Di bawah ini akan diuraikan dari masing-masing pengertian tersebut.
1. Learning Disorder atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh : siswa yang sudah terbiasa dengan olah raga keras seperti karate, tinju dan sejenisnya, mungkin akan mengalami kesulitan dalam belajar menari yang menuntut gerakan lemah-gemulai.
2. Learning Disfunction merupakan gejala dimana proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat dria, atau gangguan psikologis lainnya. Contoh : siswa yang yang memiliki postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola volley, namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak dapat menguasai permainan volley dengan baik.
3. Under Achiever mengacu kepada siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Contoh : siswa yang telah dites kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul (IQ = 130 – 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah sangat rendah.
4. Slow Learner atau lambat belajar adalah siswa yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama.
5. Learning Disabilities atau ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektualnya.
Bila diamati, ada sejumlah siswa yang mendapat kesulitan dalam mencapai
hasil belajar secara tuntas dengan variasi dua kelompok besar. Kelompok pertama merupakan sekelompok siswa yang belum mencapai tingkat ketuntasan, akan tetapi sudah hampir mencapainya. Siswa tersebut mendapat kesulitan dalam menetapkan penguasaan bagian-bagian yang sulit dari seluruh bahan yang harus dipelajari.
Kelompok yang lain, adalah sekelompok siswa yang belum mencapai tingkat ketuntasan yang diharapkan karena ada konsep dasar yang belum dikuasai. Bisa pula ketuntasan belajar tak bisa dicapai karena proses belajar yang sudah ditempuh tidak sesuai dengan karakteristik murid yang bersangkutan.
Jenis dan tingkat kesulitan yang dialami oleh siswa tidak sama karena secara konseptual berbeda dalam memahami bahan yang dipelajari secara menyeluruh. Perbedaan tingkat kesulitan ini bisa disebabkan tingkat pengusaan bahan sangat rendah, konsep dasar tidak dikuasai, bahkan tidak hanya bagian yang sulit tidak dipahami, mungkin juga bagian yang sedang dan mudah tidak dapat dukuasai dengan baik.
Siswa yang mengalami kesulitan belajar seperti tergolong dalam pengertian di atas akan tampak dari berbagai gejala yang dimanifestasikan dalam perilakunya, baik aspek psikomotorik, kognitif, konatif maupun afektif .
Beberapa perilaku yang merupakan manifestasi gejala kesulitan belajar, antara lain :
1. Menunjukkan hasil belajar yang rendah di bawah rata-rata nilai yang dicapai oleh kelompoknya atau di bawah potensi yang dimilikinya.
2. Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang telah dilakukan. Mungkin ada siswa yang sudah berusaha giat belajar, tapi nilai yang diperolehnya selalu rendah
3. Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajarnya dan selalu tertinggal dari kawan-kawannya dari waktu yang disediakan.
4. Menunjukkan sikap-sikap yang tidak wajar, seperti: acuh tak acuh, menentang, berpura-pura, dusta dan sebagainya.
5. Menunjukkan perilaku yang berkelainan, seperti membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengganggu di dalam atau pun di luar kelas, tidak mau mencatat pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan belajar, dan sebagainya.
6. Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti : pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira dalam menghadapi situasi tertentu. Misalnya dalam menghadapi nilai rendah, tidak menunjukkan perasaan sedih atau menyesal, dan sebagainya.
Sementara itu, Burton (Abin Syamsuddin. 2003) mengidentifikasi siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar, yang ditunjukkan oleh adanya kegagalan siswa dalam mencapai tujuan-tujuan belajar. Menurut dia bahwa siswa dikatakan gagal dalam belajar apabila :
1. Dalam batas waktu tertentu yang bersangkutan tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan materi (mastery level) minimal dalam pelajaran tertentu yang telah ditetapkan oleh guru (criterion reference).
2. Tidak dapat mengerjakan atau mencapai prestasi semestinya, dilihat berdasarkan ukuran tingkat kemampuan, bakat, atau kecerdasan yang dimilikinya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam under achiever.
3. Tidak berhasil tingkat penguasaan materi (mastery level) yang diperlukan sebagai prasyarat bagi kelanjutan tingkat pelajaran berikutnya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam slow learner atau belum matang (immature), sehingga harus menjadi pengulang (repeater)
Untuk dapat menetapkan gejala kesulitan belajar dan menandai siswa yang mengalami kesulitan belajar, maka diperlukan kriteria sebagai batas atau patokan, sehingga dengan kriteria ini dapat ditetapkan batas dimana siswa dapat diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Terdapat empat ukuran dapat menentukan kegagalan atau kemajuan belajar siswa : (1) tujuan pendidikan; (2) kedudukan dalam kelompok; (3) tingkat pencapaian hasil belajar dibandinngkan dengan potensi; dan (4) kepribadian.
1. Tujuan pendidikan
Dalam keseluruhan sistem pendidikan, tujuan pendidikan merupakan salah satu komponen pendidikan yang penting, karena akan memberikan arah proses kegiatan pendidikan. Segenap kegiatan pendidikan atau kegiatan pembelajaran diarahkan guna mencapai tujuan pembelajaran. Siswa yang dapat mencapai target tujuan-tujuan tersebut dapat dianggap sebagai siswa yang berhasil. Sedangkan, apabila siswa tidak mampu mencapai tujuan-tujuan tersebut dapat dikatakan mengalami kesulitan belajar. Untuk menandai mereka yang mendapat hambatan pencapaian tujuan pembelajaran, maka sebelum proses belajar dimulai, tujuan harus dirumuskan secara jelas dan operasional. Selanjutnya, hasil belajar yang dicapai dijadikan sebagai tingkat pencapaian tujuan tersebut.
Secara statistik, berdasarkan distribusi normal, seseorang dikatakan berhasil jika siswa telah dapat menguasai sekurang-kurangnya 60% dari seluruh tujuan yang harus dicapai. Namun jika menggunakan konsep pembelajaran tuntas (mastery learning) dengan menggunakan penilaian acuan patokan, seseorang dikatakan telah berhasil dalam belajar apabila telah menguasai standar minimal ketuntasan yang telah ditentukan sebelumnya atau sekarang lazim disebut Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Sebaliknya, jika penguasaan ketuntasan di bawah kriteria minimal maka siswa tersebut dikatakan mengalami kegagalan dalam belajar. Teknik yang dapat digunakan ialah dengan cara menganalisis prestasi belajar dalam bentuk nilai hasil belajar.
2. Kedudukan dalam Kelompok
Kedudukan seorang siswa dalam kelompoknya akan menjadi ukuran dalam pencapaian hasil belajarnya. Siswa dikatakan mengalami kesulitan belajar, apabila memperoleh prestasi belajar di bawah prestasi rata-rata kelompok secara keseluruhan. Misalnya, rata-rata prestasi belajar kelompok 8, siswa yang mendapat nilai di bawah angka 8, diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Dengan demikian, nilai yang dicapai seorang akan memberikan arti yang lebih jelas setelah dibandingkan dengan prestasi yang lain dalam kelompoknya. Dengan norma ini, guru akan dapat menandai siswa-siswa yang diperkirakan mendapat kesulitan belajar, yaitu siswa yang mendapat prestasi di bawah prestasi kelompok secara keseluruhan.
Secara statistik, mereka yang diperkirakan mengalami kesulitan adalah mereka yang menduduki 25 % di bawah urutan kelompok, yang biasa disebut dengan lower group. Dengan teknik ini, kita mengurutkan siswa berdasarkan nilai nilai yang dicapainya. dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah, sehingga siswa mendapat nomor urut prestasi (ranking). Mereka yang menduduki posisi 25 % di bawah diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Teknik lain ialah dengan membandingkan prestasi belajar setiap siswa dengan prestasi rata-rata kelompok. Siswa yang mendapat prestasi di bawah rata – rata kelompok diperkirakan pula mengalami kesulitan belajar.
3. Perbandingan antara potensi dan prestasi
Prestasi belajar yang dicapai seorang siswa akan tergantung dari tingkat potensinya, baik yang berupa kecerdasan maupun bakat. Siswa yang berpotensi tinggi cenderung dan seyogyanya dapat memperoleh prestasi belajar yang tinggi pula. Sebaliknya, siswa yang memiliki potensi yang rendah cenderung untuk memperoleh prestasi belajar yang rendah pula.
Dengan membandingkan antara potensi dengan prestasi belajar yang dicapainya kita dapat memperkirakan sampai sejauhmana dapat merealisasikan potensi yang dimikinya. Siswa dikatakan mengalami kesulitan belajar, apabila prestasi yang dicapainya tidak sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Misalkan, seorang siswa setelah mengikuti pemeriksaan psikologis diketahui memiliki tingkat kecerdasan (IQ) sebesar 120, termasuk kategori cerdas dalam skala Simon & Binnet. Namun ternyata hasil belajarnya hanya mendapat nilai angka 6, yang seharusnya dengan tingkat kecerdasan yang dimikinya dia paling tidak dia bisa memperoleh angka 8. Contoh di atas menggambarkan adanya gejala kesulitan belajar, yang biasa disebut dengan istilah underachiever.
4. Kepribadian
Hasil belajar yang dicapai oleh seseorang akan tercerminkan dalam seluruh kepribadiannya. Setiap proses belajar akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam aspek kepribadian. Siswa yang berhasil dalam belajar akan menunjukkan pola-pola kepribadian tertentu, sesuai dengan tujuan yang tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Siswa diakatan mengalami kesulitan belajar, apabila menunjukkan pola-pola perilaku atau kepribadian yang menyimpang dari seharusnya, seperti : acuh tak acuh, melalaikan tugas, sering membolos, menentang, isolated, motivasi lemah, emosi yang tidak seimbang dan sebagainya.
b. Diagnostik mengatasi kesulitan belajar
Belajar pada dasarnya merupakan proses usaha aktif seseorang untuk memperoleh sesuatu, sehingga terbentuk perilaku baru menuju arah yang lebih baik. Kenyataannya, para pelajar seringkali tidak mampu mencapai tujuan belajarnya atau tidak memperoleh perubahan tingkah laku sebagai mana yang diharapkan. Hal itu menunjukkan bahwa siswa mengalami kesulitan belajar yang merupakan hambatan dalam mencapai hasil belajar.
Sementara itu, setiap siswa dalam mencapai sukses belajar, mempunyai kemampuan yang berbeda-beda. Ada siswa yang dapat mencapainya tanpa kesulitan, akan tetapi banyak pula siswa mengalami kesulitan, sehingga menimbulkan masalah bagi perkembangan pribadinya.
Menghadapi masalah itu, ada kecendrungan tidak semua siswa mampu memecahkannya sendiri. Seseorang mungkin tidak mengetahui cara yang baik untuk memecahkan masalah sendiri. Ia tidak tahu apa sebenarnya masalah yang dihadapi. Ada pula seseorang yang tampak seolah tidak mempunyai masalah, padahal masalah yang dihadapinya cukup berat.
Atas kenyataan itu, semestinya sekolah harus berperan turut membantu memecahkan masalah yang dihadapi siswa. Seperti diketahui, sekolah sebagai lembaga pendidikan formal sekurang-kurangnya memiliki 3 fungsi utama. Pertama fungsi pengajaran, yakni membantu siswa dalam memperoleh kecakapan bidang pengetahuan dan keterampilan. Kedua, fungsi administrasi, dan ketiga fungsi pelayanan siswa, yaitu memberikan bantuan khusus kepada siswa untuk memperoleh pemahaman diri, pengarahan diri dan integrasi sosial yang lebih baik, sehingga dapat menyesuaikan diri baik dengan dirinya maupun dengan lingkungannya.
Setiap fungsi pendidikan itu, pada dasarnya bertanggung jawab terhadap proses pendidikan pada umumnya. Termasuk seorang guru yang berdiri di depan kelas, bertanggung jawab pula atau melekat padanya fungsi administratif dan fungsi pelayanan siswa. Hanya memang dalam pendidikan, pada dasarnya sulit memisahkan secara tegas fungsi yang satu dengan fungsi yang lainnya, meskipun pada setiap fungsi tersebut mempunyai penanggung jawab masing-masing. Dalam hal ini, guru atau pembimbing dapat membawa setiap siswa kearah perkembangan individu seoptimal mungkin dalam hubungannya dengan kehidupan sosial serta tanggung jawab moral. Salah satu kegiatan yang harus dilaksanakan oleh guru dalam melaksanakan tugas dan peranannya ialah kegiatan evaluasi. Dilihat dari jenisnya evaluasi ada empat, yaitu sumatif, formatif, penempatan, dan diagnostik.
1. Diagnosis
Diagnosis merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang melatarbelakangi timbulnya masalah siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar faktor-faktor yang penyebab kegagalan belajar siswa, bisa dilihat dari segi input, proses, ataupun out put belajarnya. W.H. Burton membagi ke dalam dua bagian faktor – faktor yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan atau kegagalan belajar siswa, yaitu : (a) faktor internal; faktor yang besumber dari dalam diri siswa itu sendiri, seperti : kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan, bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis lainnya; dan (b) faktor eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan sekolah termasuk didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.
2. Prognosis
Langkah ini untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami siswa masih mungkin untuk diatasi serta menentukan berbagai alternatif pemecahannya, Hal ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil langkah kedua dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang kompeten untuk diminta bekerja sama menangani kasus – kasus yang dihadapi.
3. Tes diagnostik
Pada konteks ini, penulis akan mencoba menyoroti tes diagnostik kesulitan belajar yang kurang sekali diperhatikan sekolah. Lewat tes itu akan dapat diketahui letak kelemahan seorang siswa. Jika kelemahan sudah ditemukan, maka guru atau pembimbing sebaiknya mengetahui hal-hal apa saja yang harus dilakukan guna menolong siswa tersebut.
Tes dignostik kesulitan belajar sendiri dilakukan melalui pengujian dan studi bersama terhadap gejala dan fakta tentang sesuatu hal, untuk menemukan karakteristik atau kesalahn-kesalahan yang esensial. Tes dignostik kesulitan belajar juga tidak hanya menyangkut soal aspek belajar dalam arti sempit yakni masalah penguasaan materi pelajaran semata, melainkan melibatkan seluruh aspek pribadi yang menyangkut perilaku siswa.
Tujuan tes diagnostik untuk menemukan sumber kesulitan belajar dan merumuskan rencana tindakan remidial. Dengan demikian tes diagnostik sangat penting dalam rangka membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar dan dapat diatasi dengan segera apabila guru atau pembinbing peka terhadap siswa tersebut. Guru atau pembimbing harus mau meluangkan waktu guna memerhatikan keadaan siswa bila timbul gejala-gejala kesulitan belajar.
Agar memudahkan pelaksanaan tes diagnostik, maka guru perlu mengumpulkan data tentang anak secara lengkap, sehingga penanganan kasus akan menjadi lebih mudah dan terarah.
Sejalan dengan kebijakan pemerintah tentang dilaksanakannya ujian akhir nasional (UAN) dengan standar nilai 4,01, boleh jadi bagi sebagian siswa sangat berat. Pihak sekolah dalam menghadapi
Salah satu antisipasinya pihak sekolah atau guru, harus memberi perhatian khusus terhadap perbedaan kemampuan individual siswa tersebut. Perhatian yang dimaksud yakni dengan menyelenggarakan tes diagnostik. Jika tes itu dilaksanakan dengan efektif dan efesien, penulis yakin permasalah perbedaan kemampan siswa akan terselesaikan dengan baik
c. Bimbingan Belajar
Bimbingan belajar merupakan upaya guru untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam belajarnya. Secara umum, prosedur bimbingan belajar dapat ditempuh melalui langkah-langkah sebagai berikut :
1. Identifikasi kasus
Identifikasi kasus merupakan upaya untuk menemukan siswa yang diduga memerlukan layanan bimbingan belajar. Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi siswa yang diduga mebutuhkan layanan bimbingan belajar, yakni :
1. Call them approach; melakukan wawancara dengan memanggil semua siswa secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat ditemukan siswa yang benar-benar membutuhkan layanan bimbingan.
2. Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru dengan siswa. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya.
3. Developing a desire for counseling; menciptakan suasana yang menimbulkan ke arah penyadaran siswa akan masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan siswa yang bersangkutan tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya.
4. Melakukan analisis terhadap hasil belajar siswa, dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi siswa.
5. Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan siswa yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial
2. Identifikasi Masalah
Langkah ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah yang dihadapi siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar, permasalahan siswa dapat berkenaan dengan aspek : (a) substansial – material; (b) struktural – fungsional; (c) behavioral; dan atau (d) personality. Untuk mengidentifikasi masalah siswa, Prayitno dkk. telah mengembangkan suatu instrumen untuk melacak masalah siswa, dengan apa yang disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi siswa, seputar aspek : (a) jasmani dan kesehatan; (b) diri pribadi; (c) hubungan sosial; (d) ekonomi dan keuangan; (e) karier dan pekerjaan; (f) pendidikan dan pelajaran; (g) agama, nilai dan moral; (h) hubungan muda-mudi; (i) keadaan dan hubungan keluarga; dan (j) waktu senggang.
3. Remedial atau referal (Alih Tangan Kasus)
Jika jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan dengan sistem pembelajaran dan masih masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru atau guru pembimbing, pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau guru pembimbing itu sendiri. Namun, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru pembimbing sebatas hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten.
4. Evaluasi dan Follow Up
Cara manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan masalah seyogyanya dilakukan evaluasi dan tindak lanjut, untuk melihat seberapa pengaruh tindakan bantuan (treatment) yang telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang dihadapi siswa.
Berkenaan dengan evaluasi bimbingan, Depdiknas telah memberikan kriteria-kriteria keberhasilan layanan bimbingan belajar, yaitu :
• Berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh siswa berkaitan dengan masalah yang dibahas;
• Perasaan positif sebagai dampak dari proses dan materi yang dibawakan melalui layanan, dan
• Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh siswa sesudah pelaksanaan layanan dalam rangka mewujudkan upaya lebih lanjut pengentasan masalah yang dialaminya.
Sementara itu, Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan beberapa kriteria dari keberhasilan dan efektivitas layanan yang telah diberikan, yaitu apabila:
1. Siswa telah menyadari (to be aware of) atas adanya masalah yang dihadapi.
2. Siswa telah memahami (self insight) permasalahan yang dihadapi.
3. Siswa telah mulai menunjukkan kesediaan untuk menerima kenyataan diri dan masalahnya secara obyektif (self acceptance).
4. Siswa telah menurun ketegangan emosinya (emotion stress release).
5. Siswa telah menurun penentangan terhadap lingkungannya
6. Siswa mulai menunjukkan kemampuannya dalam mempertimbangkan, mengadakan pilihan dan mengambil keputusan secara sehat dan rasional.
7. Siswa telah menunjukkan kemampuan melakukan usaha –usaha perbaikan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, sesuai dengan dasar pertimbangan dan keputusan yang telah diambilnya
Jika Anda ingin mengetahui lebih lanjut tentang bagaimana mekanisme penanganan siswa bermasalah, silahkan klik tautan di bawah ini. Materi disajikan dalam bentuk tayangan slide
d. Model Pembelajaran
Dalam mengimplementasikan Kurikulum Berbasis Kompetensi, E. Mulyasa (2003) mengetengahkan lima model pembelajaran yang dianggap sesuai dengan tuntutan Kurikukum Berbasis Kompetensi; yaitu : (1) Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning); (2) Bermain Peran (Role Playing); (3) Pembelajaran Partisipatif (Participative Teaching and Learning); (4) Belajar Tuntas (Mastery Learning); dan (5) Pembelajaran dengan Modul (Modular Instruction). Sementara itu, Gulo (2005) memandang pentingnya strategi pembelajaran inkuiri (inquiry).
Di bawah ini akan diuraikan secara singkat dari masing-masing model pembelajaran tersebut.
1. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning)
Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning) atau biasa disingkat CTL merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan nyata, sehingga peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pembelajaran kontekstual, tugas guru adalah memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik, dengan menyediakan berbagai sarana dan sumber belajar yang memadai. Guru bukan hanya menyampaikan materi pembelajaran yang berupa hapalan, tetapi mengatur lingkungan dan strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta didik belajar.
Dengan mengutip pemikiran Zahorik, E. Mulyasa (2003) mengemukakan lima elemen yang harus diperhatikan dalam pembelajaran kontekstual, yaitu :
1. Pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta didik
2. Pembelajaran dimulai dari keseluruhan (global) menuju bagian-bagiannya secara khusus (dari umum ke khusus)
3. Pembelajaran harus ditekankan pada pemahaman, dengan cara: (a) menyusun konsep sementara; (b) melakukan sharing untuk memperoleh masukan dan tanggapan dari orang lain; dan (c) merevisi dan mengembangkan konsep.
4. Pembelajaran ditekankan pada upaya mempraktekan secara langsung apa-apa yang dipelajari.
5. Adanya refleksi terhadap strategi pembelajaran dan pengembangan pengetahuan yang dipelajari.
2. Bermain Peran (Role Playing)
Bermain peran merupakan salah satu model pembelajaran yang diarahkan pada upaya pemecahan masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan antarmanusia (interpersonal relationship), terutama yang menyangkut kehidupan peserta didik.
Pengalaman belajar yang diperoleh dari metode ini meliputi, kemampuan kerjasama, komunikatif, dan menginterprestasikan suatu kejadian Melalui bermain peran, peserta didik mencoba mengeksplorasi hubungan-hubungan antarmanusia dengan cara memperagakan dan mendiskusikannya, sehingga secara bersama-sama para peserta didik dapat mengeksplorasi parasaan-perasaan, sikap-sikap, nilai-nilai, dan berbagai strategi pemecahan masalah.
Dengan mengutip dari Shaftel dan Shaftel, (E. Mulyasa, 2003) mengemukakan tahapan pembelajaran bermain peran meliputi : (1) menghangatkan suasana dan memotivasi peserta didik; (2) memilih peran; (3) menyusun tahap-tahap peran; (4) menyiapkan pengamat; (5) menyiapkan pengamat; (6) tahap pemeranan; (7) diskusi dan evaluasi tahap diskusi dan evaluasi tahap I ; (8) pemeranan ulang; dan (9) diskusi dan evaluasi tahap II; dan (10) membagi pengalaman dan pengambilan keputusan.
3. Pembelajaran Partisipatif (Participative Teaching and Learning)
Pembelajaran Partisipatif (Participative Teaching and Learning) merupakan model pembelajaran dengan melibatkan peserta didik secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Dengan meminjam pemikiran Knowles, (E.Mulyasa,2003) menyebutkan indikator pembelajaran partsipatif, yaitu : (1) adanya keterlibatan emosional dan mental peserta didik; (2) adanya kesediaan peserta didik untuk memberikan kontribusi dalam pencapaian tujuan; (3) dalam kegiatan belajar terdapat hal yang menguntungkan peserta didik.
Pengembangan pembelajaran partisipatif dilakukan dengan prosedur berikut:
1. Menciptakan suasana yang mendorong peserta didik siap belajar.
2. Membantu peserta didik menyusun kelompok, agar siap belajar dan membelajarkan
3. Membantu peserta didik untuk mendiagnosis dan menemukan kebutuhan belajarnya.
4. Membantu peserta didik menyusun tujuan belajar.
5. Membantu peserta didik merancang pola-pola pengalaman belajar.
6. Membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar.
7. Membantu peserta didik melakukan evaluasi diri terhadap proses dan hasil belajar.
4. Belajar Tuntas (Mastery Learning)
Belajar tuntas berasumsi bahwa di dalam kondisi yang tepat semua peserta didik mampu belajar dengan baik, dan memperoleh hasil yang maksimal terhadap seluruh materi yang dipelajari. Agar semua peserta didik memperoleh hasil belajar secara maksimal, pembelajaran harus dilaksanakan dengan sistematis. Kesistematisan akan tercermin dari strategi pembelajaran yang dilaksanakan, terutama dalam mengorganisir tujuan dan bahan belajar, melaksanakan evaluasi dan memberikan bimbingan terhadap peserta didik yang gagal mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Tujuan pembelajaran harus diorganisir secara spesifik untuk memudahkan pengecekan hasil belajar, bahan perlu dijabarkan menjadi satuan-satuan belajar tertentu,dan penguasaan bahan yang lengkap untuk semua tujuan setiap satuan belajar dituntut dari para peserta didik sebelum proses belajar melangkah pada tahap berikutnya. Evaluasi yang dilaksanakan setelah para peserta didik menyelesaikan suatu kegiatan belajar tertentu merupakan dasar untuk memperoleh balikan (feedback). Tujuan utama evaluasi adalah memperoleh informasi tentang pencapaian tujuan dan penguasaan bahan oleh peserta didik. Hasil evaluasi digunakan untuk menentukan dimana dan dalam hal apa para peserta didik perlu memperoleh bimbingan dalam mencapai tujuan, sehinga seluruh peserta didik dapat mencapai tujuan ,dan menguasai bahan belajar secara maksimal (belajar tuntas).
Strategi belajar tuntas dapat dibedakan dari pengajaran non belajar tuntas dalam hal berikut : (1) pelaksanaan tes secara teratur untuk memperoleh balikan terhadap bahan yang diajarkan sebagai alat untuk mendiagnosa kemajuan (diagnostic progress test); (2) peserta didik baru dapat melangkah pada pelajaran berikutnya setelah ia benar-benar menguasai bahan pelajaran sebelumnya sesuai dengan patokan yang ditentukan; dan (3) pelayanan bimbingan dan konseling terhadap peserta didik yang gagal mencapai taraf penguasaan penuh, melalui pengajaran remedial (pengajaran korektif).
Strategi belajar tuntas dikembangkan oleh Bloom, meliputi tiga bagian, yaitu: (1) mengidentifikasi pra-kondisi; (2) mengembangkan prosedur operasional dan hasil belajar; dan (3c) implementasi dalam pembelajaran klasikal dengan memberikan “bumbu” untuk menyesuaikan dengan kemampuan individual, yang meliputi : (1) corrective technique yaitu semacam pengajaran remedial, yang dilakukan memberikan pengajaran terhadap tujuan yang gagal dicapai peserta didik, dengan prosedur dan metode yang berbeda dari sebelumnya; dan (2) memberikan tambahan waktu kepada peserta didik yang membutuhkan (sebelum menguasai bahan secara tuntas).
Di samping implementasi dalam pembelajaran secara klasikal, belajar tuntas banyak diimplementasikan dalam pembelajaran individual. Sistem belajar tuntas mencapai hasil yang optimal ketika ditunjang oleh sejumlah media, baik hardware maupun software, termasuk penggunaan komputer (internet) untuk mengefektifkan proses belajar.
5. Pembelajaran dengan Modul (Modular Instruction)
Modul adalah suatu proses pembelajaran mengenai suatu satuan bahasan tertentu yang disusun secara sistematis, operasional dan terarah untuk digunakan oleh peserta didik, disertai dengan pedoman penggunaannya untuk para guru. Pembelajaran dengan sistem modul memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Setiap modul harus memberikan informasi dan petunjuk pelaksanaan yang jelas tentang apa yang harus dilakukan oleh peserta didik, bagaimana melakukan, dan sumber belajar apa yang harus digunakan.
2. Modul meripakan pembelajaran individual, sehingga mengupayakan untuk melibatkan sebanyak mungkin karakteristik peserta didik. Dalam setiap modul harus : (1) memungkinkan peserta didik mengalami kemajuan belajar sesuai dengan kemampuannya; (2) memungkinkan peserta didik mengukur kemajuan belajar yang telah diperoleh; dan (3) memfokuskan peserta didik pada tujuan pembelajaran yang spesifik dan dapat diukur.
3. Pengalaman belajar dalam modul disediakan untuk membantu peserta didik mencapai tujuan pembelajaran seefektif dan seefisien mungkin, serta memungkinkan peserta didik untuk melakukan pembelajaran secara aktif, tidak sekedar membaca dan mendengar tapi lebih dari itu, modul memberikan kesempatan untuk bermain peran (role playing), simulasi dan berdiskusi.
4. Materi pembelajaran disajikan secara logis dan sistematis, sehingga peserta didik dapat menngetahui kapan dia memulai dan mengakhiri suatu modul, serta tidak menimbulkan pertanyaaan mengenai apa yang harus dilakukan atau dipelajari.
5. Setiap modul memiliki mekanisme untuk mengukur pencapaian tujuan belajar peserta didik, terutama untuk memberikan umpan balik bagi peserta didik dalam mencapai ketuntasan belajar.
Pada umumnya pembelajaran dengan sistem modul akan melibatkan beberapa komponen, diantaranya : (1) lembar kegiatan peserta didik; (2) lembar kerja; (3) kunci lembar kerja; (4) lembar soal; (5) lembar jawaban dan (6) kunci jawaban.
Komponen-komponen tersebut dikemas dalam format modul, sebagai berikut :
1. Pendahuluan; yang berisi deskripsi umum, seperti materi yang disajikan, pengetahuan, keterampilan dan sikap yang akan dicapai setelah belajar, termasuk kemampuan awal yang harus dimiliki untuk mempelajari modul tersebut.
2. Tujuan Pembelajaran; berisi tujuan pembelajaran khusus yang harus dicapai peserta didik, setelah mempelajari modul. Dalam bagian ini dimuat pula tujuan terminal dan tujuan akhir, serta kondisi untuk mencapai tujuan.
3. Tes Awal; yang digunakan untuk menetapkan posisi peserta didik dan mengetahui kemampuan awalnya, untuk menentukan darimana ia harus memulai belajar, dan apakah perlu untuk mempelajari atau tidak modul tersebut.
4. Pengalaman Belajar; yang berisi rincian materi untuk setiap tujuan pembelajaran khusus, diikuti dengan penilaian formatif sebagai balikan bagi peserta didik tentang tujuan belajar yang dicapainya.
5. Sumber Belajar; berisi tentang sumber-sumber belajar yang dapat ditelusuri dan digunakan oleh peserta didik.
6. Tes Akhir; instrumen yang digunakan dalam tes akhir sama dengan yang digunakan pada tes awal, hanya lebih difokuskan pada tujuan terminal setiap modul
Tugas utama guru dalam pembelajaran sistem modul adalah mengorganisasikan dan mengatur proses belajar, antara lain : (1) menyiapkan situasi pembelajaran yang kondusif; (2) membantu peserta didik yang mengalami kesulitan dalam memahami isi modul atau pelaksanaan tugas; (3) melaksanakan penelitian terhadap setiap peserta didik.
6. Pembelajaran Inkuiri
Pembelajaran inkuiri merupakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki sesuatu (benda, manusia atau peristiwa) secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.
Joyce (Gulo, 2005) mengemukakan kondisi- kondisi umum yang merupakan syarat bagi timbulnya kegiatan inkuiri bagi siswa, yaitu : (1) aspek sosial di dalam kelas dan suasana bebas-terbuka dan permisif yang mengundang siswa berdiskusi; (2) berfokus pada hipotesis yang perlu diuji kebenarannya; dan (3) penggunaan fakta sebagai evidensi dan di dalam proses pembelajaran dibicarakan validitas dan reliabilitas tentang fakta, sebagaimana lazimnya dalam pengujian hipotesis,
Proses inkuiri dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
1. Merumuskan masalah; kemampuan yang dituntut adalah : (a) kesadaran terhadap masalah; (b) melihat pentingnya masalah dan (c) merumuskan masalah.
2. Mengembangkan hipotesis; kemampuan yang dituntut dalam mengembangkan hipotesis ini adalah : (a) menguji dan menggolongkan data yang dapat diperoleh; (b) melihat dan merumuskan hubungan yang ada secara logis; dan merumuskan
3. Menguji jawaban tentatif; kemampuan yang dituntut adalah : (a) merakit peristiwa, terdiri dari : mengidentifikasi peristiwa yang dibutuhkan, mengumpulkan data, dan mengevaluasi data; (b) menyusun data, terdiri dari : mentranslasikan data, menginterpretasikan data dan mengkasifikasikan data.; (c) analisis data, terdiri dari : melihat hubungan, mencatat persamaan dan perbedaan, dan mengidentifikasikan trend, sekuensi, dan keteraturan.
4. Menarik kesimpulan; kemampuan yang dituntut adalah: (a) mencari pola dan makna hubungan; dan (b) merumuskan kesimpulan
5. Menerapkan kesimpulan dan generalisasi
Guru dalam mengembangkan sikap inkuiri di kelas mempunyai peranan sebagai konselor, konsultan, teman yang kritis dan fasilitator. Ia harus dapat membimbing dan merefleksikan pengalaman kelompok, serta memberi kemudahan bagi kerja kelompok.
E. Mengatasi Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar merupakan masalah yang cukup kompleks dan sering membuat orangtua bingung mencari penyelesaiannya. Kesulitan belajar banyak ditemukan pada anak usia sekolah. Pola belajar anak, memang dibentuk saat di sekolah dasar. Sesuai dengan masanya ia mengalami perkembangan mental dan pembentukan karakternya. Di masa kini anak tidak hanya belajar menghitung, membaca, atau menghafal pengetahuan umum, tapi juga belajar tentang tanggung jawab, skala nilai moral, skala nilai prioritas dalam kegiatannya.
Masalah disiplin juga tidak kalah pentingnya. Anak-anak sejak kecil sudah harus ditanamkan disiplin. Jika, tidak sangat menentukan perkembangan karakter anak tersebut. Di dalam kebudayaan Bugis-Makassar ada istilah macanga-canga atau memandang enteng persoalan. Sering menunda-nunda jadwal belajar.
Dalam menghadapi perilaku anak seperti ini, dalalm artikel Ibu Anak disebutkan setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan. Namun, sebelum memperhatikan hal tersebut, orangtua hendaknya tidak mudah jatuh iba sehingga mengambil alih tugas anak. Tentu dengan tujuan meringankan agar mereka bisa mengerjakan pekerjaan rumah misalnya.
Sekali lagi orangtua tidak dianjurkan membantu anak dengan cara mengambil alih, tapi bagaimana menuntun anak agar pekerjaan rumah dikerjakan sendiri dalam situasi menyenangkan.
1. Perhatikan Mood
Untuk mengenal mood anak, seorang ibu harus mengenal karakter dan kebiasaan belajar anak. Apakah anak belajar dengan senang hati atau dalam keadaan kesal. Jika belajar dalam suasana hati yang senang, maka apa yang akan dipelajari lebih cepat ditangkap. Bila saat belajar, ia merasa kesal, coba untuk mencari tahu penyebab munculnya rasa kesal itu. Apakah karena pelajaran yang sulit atau karena konsentrasi yang pecah. Nah di sini tugas orangtua untuk menyenangkan hati si anak.
2. Siapkan Ruang Belajar
Kesulitan belajar anak bisa juga karena tempat yang tersedia tidak memadai. Karena itu, coba sediakan tempat belajar untuk anak. Jika kesulitan itu muncul karena tidak tersedianya meja, maka ajaklah anak belajar di meja makan didampingi orangtuanya. Tentu sebelum belajar meja makan harus dibersihkan lebih dahulu.
Selain itu, saat mengajari anak ini Anda bisa melakukannya dengan menularkan cara belajar yang baik. Misalnya bercerita kepada anak tentang bagaimana dahulu ibunya menyelesaikan mata pelajaran yang dianggap sulit. Biasanya anak cepat larut dengan cerita ibunya sehingga ia mencoba mencocok-cocokkan dengan apa yang dijalaninya sekarang.
3. Komunikasi
Masa kecil kita, pelajaran yang disukai tergantung bagaimana cara guru itu mengajar. Tidak bisa dipungkiri perhatian terhadap mata pelajaran, tentu ada kaitan dengan cara guru mengajar di kelas.
Sempatkan juga waktu dan dengarkan anak-anak bercerita tentang bagaimana cara guru mereka mengajar di sekolah. Jika, anak Anda aktif maka banyak sekali cerita yang lahir termasuk bagaimana guru kelas memperhatikan baju, ikat rambut, dan sepatunya. Khusus soal komunikasi ini, biarkan anak-anak bercerita tentang gurunya. Sejak dini biasakan anak berperilaku sportif dan pandai menyampaikan pendapatnya. Selamat mencoba.
Langkah-Langkah Tindakan Diagnosa Menurut C. Ross dan Julian Stanley, langkah-langkah mendiagnosis kesulitan belajar ada tiga tahap, yaitu :
1. Langkah-langkah diagnosis yang meliputi aktifitas, berupa
a. Identifikasi kasus
b. Lokalisasi jenis dan sifat kesulitan
c. Menemukan faktor penyebab baik secara internal maupun eksternal
2. Langkah prognosis yaitu suatu langkah untuk mengestimasi (mengukur),
memperkirakan apakah kesulitan tersebut dapat dibantu atau tidak.
3. Langkah Terapi yaitu langkah untuk menemukan berbagai alternatif kemungkinan cara yang dapat ditempuh dalam rangka penyembuhan kesulitan tersebut yang kegiatannya meliputi antara lain pengajaran remedial, transfer atau referal.
Sasaran dari kegiatan diagnosis pada dasarnya ditujukan untuk memahami
karakteristik dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesulitan. Dari ketiga pola pendekatan di atas dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah pokok prosedur dan teknik diagnosa kesulitan belajar adalah sebagai berikut:
4. Mengidentifikasi siswa yang diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Adapun langkah-langkah mengidentifikasi siswa yang mengalami kesulitan belajar.
Menandai siswa dalam satu kelas atau dalam satu kelompok yang diperkirakan mengalami kesulitan belajar baik bersifat umum maupun khusus dalam bidang studi
Meneliti nilai ulangan yang tercantum dalam “record academic” kemudian dibandingkan dengan nilai rata-rata kelas atau dengan kriteria tingkat penguasaan minimal kompetensi yang dituntut.
Menganalisis hasil ulangan dengan melihat sifat kesalahan yang dibuat.
Melakukan observasi pada saat siswa dalam kegiatan proses belajar mengajar yaitu mengamati tingkah laku siswa dalam mengerjakan tugas-tugas tertentu yang diberikan di dalam kelas, berusaha mengetahui kebiasaan dan cara belajar siswa di rumah melalui check list
Mendapatkan kesan atau pendapat dari guru lain terutama wali kelas,dan guru pembimbing.
5. Mengalokasikan letaknya kesulitan atau permasalahannya, dengan cara mendeteksi kesulitan belajar pada bidang studi tertentu. Dengan membandingkan angka nilai prestasi siswa yang bersangkutan dari bidang studi yang diikuti atau dengan angka nilai rata-rata dari setiap bidang studi. Atau dengan melakukan analisis terhadap catatan mengenai proses belajar. Hasil analisa empiris terhadap catatan keterlambatan penyelesaian tugas, ketidakhadiran, kekurang aktifan dan kecenderungan berpartisipasi dalam belajar.
6. Melokalisasikan jenis faktor dan sifat yang menyebabkan mengalami berbagai kesulitan.
7. Memperkirakan alternatif pertolongan. Menetapkan kemungkinan cara mengatasinya baik yang bersifat mencegah (preventif) maupun penyembuhan (kuratif).
Demikianlah prosedur dan teknik diagnosa kesulitan belajar, di atas dapat dipergunakan. Namun penerapannya dalam proses konseling bisa sangat bervariasi, bahkan ada beberapa pakar yang mempunyai pandangan yang bertolak belakang atau kontradiktif. Bahkan, menurut Carl Rogers, terapi atau pertolongan yang baik tidak membutuhkan ketrampilan dan pengetahuan diagnosa. Hal ini bertolak belakang dengan pendapat Wiliamson, Ellis, Freud, dan Thorn yang menekankan bahwa diagnosa sebagai langkah yang perlu dipakai dalam pendekatan konseling, termasuk konseling yang menangani kesulitan dalam belajar. Bahkan ditekankan bahwa diagnosa merupakan bagian dari kegiatan konselor dalam proses konseling. Seyogyanya seorang pembimbing atau konselor perlu mengingat dan dapat bertindak bijaksana dalam mempertimbangkan kapan sebaiknya diagnosa dipergunakan atau tidak untuk menolong siswa dalam mengatasi kesulitan belajar.
Ada berbagai macam cara untuk mengidentifikasi siswa, di antaranya seorang konselor dapat menggunakan check list. Di samping penggunaan check list ini sangat efektif dan efesien terutama bila jumlah siswa banyak, check list ini bisa berfungsi sebagai alat pengayaan (screening device) untuk mengidentifikasi siswa yang perlu segera atau skala prioritas yang harus ditolong.
Sebab-sebab yang mungkin mengakibatkan timbulnya kesulitan belajar, dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:
1. Banyak sebab yang menimbulkan pola gejala yang sama. Seringkali gejala-gejala kesulitan belajar yang nampak pada seorang siswa disebabkan oleh faktor-faktor yang berbeda dengan yang lain yang memperlihatkan gejala yang sama.
2. Banyak pola gejala yang ditimbulkan oleh sebab yang sama. Sebab yang nampak sama, dapat mengakibatkan gejala yang berbeda-beda bagi siswa yang berlainan perlu diperhatikan adanya kesesuaian antara sebab dengan kondisi tempat tinggal siswa.
3. Sebab-sebab yang saling berkaitan dengan yang lain. Kesulitan yang menimbulkan reaksi dari orang-orang disekelilingnya atau yang menyebabkan dia bereaksi pada dirinya sendiri dengan cara yang selanjutnya , menyebabkan timbulnya kesulitan yang baru.
Proses pemecahan kesulitan belajar pada siswa yaitu dimulai dengan
memperkirakan kemungkinan bantuan apakah siswa tersebut masih mungkin ditolong untuk mengatasi kesulitannya atau tidak, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengatasi kesulitan yang dialami oleh siswa tertentu, dan dimana pertolongan itu dapat diberikan. Perlu dianalisis pula siapa yang dapat memberikan pertolongan dan bantuan, bagaimana cara menolong siswa yang efektif, dan siapa saja yang harus dilibatkan dalam proses konseling.
Dalam proses pemberian bantuan, diperlukan bimbingan yang intensif dan
berkelanjutan agar siswa dapat mengembangkan diri secara optimal dan menyesuaikan diri terhadap perkembangan pribadinya dan lingkungannya.
Kemampuan yang Harus Dimiliki Konselor Berkait dengan perannya sebagai seorang konselor, tiap individu konselor harus memiliki kemampuan yang profesional yaitu mampu melakukan langkah-langkah :
1. Mengumpulkan data tentang siswa
2. Mengamati tingkah laku siswa
3. Mengenal siswa yang memerlukan bantuan khusus
4. Mengadakan komunukasi dengan orang tua siswa untuk memperoleh keterangan dalam pendidikan anak.
5. Bekerjasama dengan masyarakat dan lembaga yang terkait untuk membantu memecahkan masalah siswa
6. Membuat catatan pribadi siswa
7. Menyelenggarakan bimbingan kelompok ataupun individual
8. Bekerjasama dengan konselor yang lain dalam menyusun program bimbingan sekolah
9. meneliti kemajuan siswa baik di sekolah maupun di luar sekolah
Mengingat sedemikian pentingnya peranan dan tanggung jawab konselor,
maka diperlukan dua persyaratan khusus bagi seorang konselor yaitu, memiliki gelar kesarjanaan dalam bidang psikologi dan mempunyai ciri-ciri dan kepribadian antara lain; dapat memahami orang lain secara objektif dan simpatik, mampu mengadakan kerjasama dengan orang lain dengan baik, memeliki kemampuan perspektif, memahami batas-batas kemampuan sendiri, mempunyai perhatian dan minat terhadap masalah pada siswa dan ada keinginan untuk membantu, dan harus memiliki sikap yang bijak dan konsisten dalam mengambil keputusan.
Dengan dimilikinya kecakapan dan persyaratan khusus seperti terurai di atas, seorang konselor diharapkan mampu membantu mengatasi dan memecahkan masalah kesulitan belajar yang dialami oleh siswa. Namun perlu diingat bahwa keberhasilan suatu konseling akan bisa maksimal apabila ada keterbukaan dan kepercayaan antara pihak klien dan konselor.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesulitan dalam pembelajaran atau belajar merupakan suatu hal yang sering ditemui oleh para pendidik, terutama guru. Sebagai upaya untuk memberikan terapi terhadap permasalahan kesulitan belajar maka dapat ditempuh melalui media klinik pembelajaran.
Klinik Pembelajaran merupakan wadah bagi guru untuk melakukan serangkaian upaya yaitu kegiatan refleksi, penemuan masalah, pemecahan masalah melalui beragam strategi untuk meningkatkan ketrampilan dalam mengelola pembelajaran. Strategi utama yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas.
Karena Klinik Pembelajaran merupakan milik bersama para guru, maka tempat ini dapat digunakan dengan bebas untuk berdiskusi, melakukan refleksi atau merenung tentang proses pembelajaran yang telah dijalani, bersimulasi, misalnya bagaimana cara mengajarkan suatu konsep dengan menyenangkan, dan membuat catatan bersama-sama dengan teman sejawat. Di Klinik Pembelajaran, para supervisor akan membantu dalam melakukan berbagai kegiatan tersebut.
Dalam klinik pembelajaran analisis kesulitan pembelajaran dapat dilalui dengan identifikasi kesulitan belajar, mengadakan diagnosis kesulitan belajar, melakukan bimbingan dan konseling belajar, dan kemudian menetapkan model pembelajaran serta mengatasi kesulitan belajar.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abin Syamsuddin, (2003), Psikologi Pendidikan, Bandung : PT Remaja Rosda Karya
Prayitno dan Erman Anti, (1995), Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta : P2LPTK Depdikbud
Prayitno (2003), Panduan Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Depdikbud Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah
Seri Pemandu Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di Sekolah,(1995), Pelayanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah Umum (SMU) Buku IV, Jakarta : IPBI
Winkel, W.S. (1991), Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Jakarta : Gramedia
Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya. Strategi Belajar Mengajar. Bandung : Pustaka Setia
E. Mulyasa.2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep; Karakteristik dan Implementasi. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
E. Mulyasa. 2004. Implementasi Kurikulum 2004; Panduan Pembelajaran KBK. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
Udin S. Winataputra, dkk. 2003. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Pusat Penerbitan Universitas Terbuka
W. Gulo. 2005. Strategi Belajar Mengajar Jakarta : Grasindo.