Makalah Psikologi Belajar – Kesulitan Belajar dan Cara Mengatasinya
Makalah Psikologi Belajar – Kesulitan Belajar dan Cara Mengatasinya. Untuk makalah kali ini saya akan coba share makalah yang disampaikan oleh dosen
Mufaro’ah, M.Si yaitu mata kuliah
Psikologi Belajar judul
makalah Psikologi Belajarkali ini yaitu
Kesulitan Belajar dan Cara Mengatasinya, sebelumnya sudah ada makalah yang berhubungan dengan makalah ini yaitu
faktor-faktor yang mempengaruhi belajar.
Kesulitan Belajar dan Cara Mengatasinya makalah ini disampaikan oleh kelompok sembilan dengan anggotanya
Syahroni, Surya dan Rozita. Berikut isi dari
makalah Kesulitan Belajar dan Kiat Cara Mengatasinya tersebut :
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dunia pendidikan mengartikan diagnosis
kesulitan belajar sebagai segala usaha yang dilakukan untuk memahami dan
menetapkan jenis dan sifat kesulitan belajar. Juga mempelajari
faktor-faktor yang menyebabkan kesulitan belajar serta cara menetapkan
dan kemungkinan mengatasinya, baik secara kuratif (penyembuhan) maupun
secara preventif (pencegahan) berdasarkan data dan informasi yang
seobyektif mungkin.
Dengan demikian, semua kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk menemukan kesulitan belajar
termasuk kegiatan diagnosa. Perlunya diadakan diagnosis belajar karena
berbagai hal. Pertama, setiap siswa hendaknya mendapat kesempatan dan
pelayanan untuk berkembang secara maksimal, kedua; adanya perbedaan
kemampuan, kecerdasan, bakat, minat dan latar belakang lingkungan
masing-masing siswa. Ketiga, sistem pengajaran di sekolah seharusnya
memberi kesempatan pada siswa untuk maju sesuai dengan kemampuannya.
Dan, keempat, untuk menghadapi permasalahan yang dihadapi oleh siswa,
hendaknya guru beserta BP lebih intensif dalam menangani siswa dengan
menambah pengetahuan, sikap yang terbuka dan mengasah ketrampilan dalam
mengidentifikasi kesulitan belajar siswa.
Berkait dengan kegiatan diagnosis,
secara garis besar dapat diklasifikasikan ragam diagnosis ada dua macam,
yaitu diagnosis untuk mengerti masalah dan diagnosis yang
mengklasifikasi masalah. Diagnosa untuk mengerti masalah merupakan usaha
untuk dapat lebih banyak mengerti masalah secara menyeluruh. Sedangkan
diagnosis yang mengklasifikasi masalahmerupakan pengelompokan masalah
sesuai ragam dan sifatnya. Ada masalah yang digolongkan kedalam masalah
yang bersifat vokasional, pendidikan, keuangan, kesehatan, keluarga dan
kepribadian. Kesulitan belajar merupakan problem yang nyaris dialami
oleh semua siswa. Kesulitan belajar dapat diartikan suatu kondisi dalam
suatu proses belajar yang ditandai adanya hambatan-hambatan tertentu
untuk menggapai hasil belajar.
B. Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah :
a. Mengidintifikasi berbagai permasalahan kesulitan pembelajaran.
b. Mengkaji berbagai persoalan tentang permasalahan belajar.
c. Alternatif mengatasi permasalahan pembelajaran.
C. Lingkup Pembahasan
Ruang lingkup pembahasan dalam makalah ini difokuskan pada kesulitan belajar, bimbingan belajar, model pembelajaran yang bisa diaterapkan dan bagaimana mengatasi masalah kesulitan belajar.
BAB II
PEMBAHASAN
a. Kesulitan Belajar
Dalam kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan sejumlah
karakterisktik siswa yang beraneka ragam. Ada siswa yang dapat menempuh
kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa mengalami
kesulitan, namun di sisi lain tidak sedikit pula siswa yang justru dalam
belajarnya mengalami berbagai kesulitan. Kesulitan belajar siswa
ditunjukkan oleh adanya hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil
belajar, dan dapat bersifat psikologis, sosiologis, maupun fisiologis,
sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan prestasi belajar yang
dicapainya berada di bawah semestinya.
Kesulitan belajar siswa mencakup pengertian yang luas, diantaranya : (a) learning disorder; (b) learning disfunction; (c) underachiever; (d) slow learner, dan (e) learning diasbilities. Di bawah ini akan diuraikan dari masing-masing pengertian tersebut.
1. Learning Disorder
atau kekacauan belajar adalah keadaan dimana proses belajar seseorang
terganggu karena timbulnya respons yang bertentangan. Pada dasarnya,
yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya tidak dirugikan, akan
tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya respons-respons
yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih rendah
dari potensi yang dimilikinya. Contoh : siswa yang sudah terbiasa dengan
olah raga keras seperti karate, tinju dan sejenisnya, mungkin akan
mengalami kesulitan dalam belajar menari yang menuntut gerakan
lemah-gemulai.
2. Learning Disfunction
merupakan gejala dimana proses belajar yang dilakukan siswa tidak
berfungsi dengan baik, meskipun sebenarnya siswa tersebut tidak
menunjukkan adanya subnormalitas mental, gangguan alat dria, atau
gangguan psikologis lainnya. Contoh : siswa yang yang memiliki postur
tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola volley,
namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak
dapat menguasai permainan volley dengan baik.
3. Under Achiever mengacu
kepada siswa yang sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual
yang tergolong di atas normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong
rendah. Contoh : siswa yang telah dites kecerdasannya dan menunjukkan
tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul (IQ = 130 – 140), namun
prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah sangat rendah.
4. Slow Learner atau
lambat belajar adalah siswa yang lambat dalam proses belajar, sehingga
ia membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan sekelompok siswa lain
yang memiliki taraf potensi intelektual yang sama.
5. Learning Disabilities
atau ketidakmampuan belajar mengacu pada gejala dimana siswa tidak
mampu belajar atau menghindari belajar, sehingga hasil belajar di bawah
potensi intelektualnya.
Bila diamati, ada sejumlah siswa yang mendapat kesulitan dalam mencapai
hasil belajar secara tuntas dengan variasi dua kelompok besar. Kelompok
pertama merupakan sekelompok siswa yang belum mencapai tingkat
ketuntasan, akan tetapi sudah hampir mencapainya. Siswa tersebut
mendapat kesulitan dalam menetapkan penguasaan bagian-bagian yang sulit
dari seluruh bahan yang harus dipelajari.
Kelompok yang lain, adalah sekelompok
siswa yang belum mencapai tingkat ketuntasan yang diharapkan karena ada
konsep dasar yang belum dikuasai. Bisa pula ketuntasan belajar tak bisa
dicapai karena proses belajar yang sudah ditempuh tidak sesuai dengan
karakteristik murid yang bersangkutan.
Jenis dan tingkat kesulitan yang dialami oleh siswa tidak sama karena
secara konseptual berbeda dalam memahami bahan yang dipelajari secara
menyeluruh. Perbedaan tingkat kesulitan ini bisa disebabkan tingkat
pengusaan bahan sangat rendah, konsep dasar tidak dikuasai, bahkan tidak
hanya bagian yang sulit tidak dipahami, mungkin juga bagian yang sedang
dan mudah tidak dapat dukuasai dengan baik.
Siswa yang mengalami kesulitan belajar
seperti tergolong dalam pengertian di atas akan tampak dari berbagai
gejala yang dimanifestasikan dalam perilakunya, baik aspek psikomotorik,
kognitif, konatif maupun afektif .
Beberapa perilaku yang merupakan manifestasi gejala kesulitan belajar, antara lain :
1. Menunjukkan hasil belajar yang rendah
di bawah rata-rata nilai yang dicapai oleh kelompoknya atau di bawah
potensi yang dimilikinya.
2. Hasil yang dicapai tidak seimbang
dengan usaha yang telah dilakukan. Mungkin ada siswa yang sudah berusaha
giat belajar, tapi nilai yang diperolehnya selalu rendah
3. Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajarnya dan selalu tertinggal dari kawan-kawannya dari waktu yang disediakan.
4. Menunjukkan sikap-sikap yang tidak wajar, seperti: acuh tak acuh, menentang, berpura-pura, dusta dan sebagainya.
5. Menunjukkan perilaku yang
berkelainan, seperti membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan
pekerjaan rumah, mengganggu di dalam atau pun di luar kelas, tidak mau
mencatat pelajaran, tidak teratur dalam kegiatan belajar, dan
sebagainya.
6. Menunjukkan gejala emosional yang
kurang wajar, seperti : pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau
kurang gembira dalam menghadapi situasi tertentu. Misalnya dalam
menghadapi nilai rendah, tidak menunjukkan perasaan sedih atau menyesal,
dan sebagainya.
Sementara itu, Burton (Abin Syamsuddin.
2003) mengidentifikasi siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar,
yang ditunjukkan oleh adanya kegagalan siswa dalam mencapai
tujuan-tujuan belajar. Menurut dia bahwa siswa dikatakan gagal dalam
belajar apabila :
1. Dalam batas waktu tertentu yang
bersangkutan tidak mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat
penguasaan materi (mastery level) minimal dalam pelajaran tertentu yang
telah ditetapkan oleh guru (criterion reference).
2. Tidak dapat mengerjakan atau mencapai
prestasi semestinya, dilihat berdasarkan ukuran tingkat kemampuan,
bakat, atau kecerdasan yang dimilikinya. Siswa ini dapat digolongkan ke
dalam under achiever.
3. Tidak berhasil tingkat penguasaan
materi (mastery level) yang diperlukan sebagai prasyarat bagi kelanjutan
tingkat pelajaran berikutnya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam slow
learner atau belum matang (immature), sehingga harus menjadi pengulang
(repeater)
Untuk dapat menetapkan gejala kesulitan belajar dan
menandai siswa yang mengalami kesulitan belajar, maka diperlukan
kriteria sebagai batas atau patokan, sehingga dengan kriteria ini dapat
ditetapkan batas dimana siswa dapat diperkirakan mengalami kesulitan
belajar. Terdapat empat ukuran dapat menentukan kegagalan atau kemajuan
belajar siswa : (1) tujuan pendidikan; (2) kedudukan dalam kelompok;
(3) tingkat pencapaian hasil belajar dibandinngkan dengan potensi; dan
(4) kepribadian.
1. Tujuan pendidikan
Dalam keseluruhan sistem pendidikan, tujuan pendidikan merupakan salah
satu komponen pendidikan yang penting, karena akan memberikan arah
proses kegiatan pendidikan. Segenap kegiatan pendidikan atau kegiatan
pembelajaran diarahkan guna mencapai tujuan pembelajaran. Siswa yang
dapat mencapai target tujuan-tujuan tersebut dapat dianggap sebagai
siswa yang berhasil. Sedangkan, apabila siswa tidak mampu mencapai
tujuan-tujuan tersebut dapat dikatakan mengalami kesulitan belajar.
Untuk menandai mereka yang mendapat hambatan pencapaian tujuan
pembelajaran, maka sebelum proses belajar dimulai, tujuan harus
dirumuskan secara jelas dan operasional. Selanjutnya, hasil belajar yang
dicapai dijadikan sebagai tingkat pencapaian tujuan tersebut.
Secara statistik, berdasarkan distribusi
normal, seseorang dikatakan berhasil jika siswa telah dapat menguasai
sekurang-kurangnya 60% dari seluruh tujuan yang harus dicapai. Namun
jika menggunakan konsep pembelajaran tuntas (mastery learning) dengan
menggunakan penilaian acuan patokan, seseorang dikatakan telah berhasil
dalam belajar apabila telah menguasai standar minimal ketuntasan yang
telah ditentukan sebelumnya atau sekarang lazim disebut Kriteria
Ketuntasan Minimal (KKM). Sebaliknya, jika penguasaan ketuntasan di
bawah kriteria minimal maka siswa tersebut dikatakan mengalami kegagalan
dalam belajar. Teknik yang dapat digunakan ialah dengan cara
menganalisis prestasi belajar dalam bentuk nilai hasil belajar.
2. Kedudukan dalam Kelompok
Kedudukan seorang siswa dalam kelompoknya akan menjadi ukuran dalam
pencapaian hasil belajarnya. Siswa dikatakan mengalami kesulitan
belajar, apabila memperoleh prestasi belajar di bawah prestasi rata-rata
kelompok secara keseluruhan. Misalnya, rata-rata prestasi belajar
kelompok 8, siswa yang mendapat nilai di bawah angka 8, diperkirakan
mengalami kesulitan belajar. Dengan demikian, nilai yang dicapai seorang
akan memberikan arti yang lebih jelas setelah dibandingkan dengan
prestasi yang lain dalam kelompoknya. Dengan norma ini, guru akan dapat
menandai siswa-siswa yang diperkirakan mendapat kesulitan belajar, yaitu
siswa yang mendapat prestasi di bawah prestasi kelompok secara
keseluruhan.
Secara statistik, mereka yang
diperkirakan mengalami kesulitan adalah mereka yang menduduki 25 % di
bawah urutan kelompok, yang biasa disebut dengan lower group. Dengan
teknik ini, kita mengurutkan siswa berdasarkan nilai nilai yang
dicapainya. dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah, sehingga
siswa mendapat nomor urut prestasi (ranking). Mereka yang menduduki
posisi 25 % di bawah diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Teknik
lain ialah dengan membandingkan prestasi belajar setiap siswa dengan
prestasi rata-rata kelompok. Siswa yang mendapat prestasi di bawah rata –
rata kelompok diperkirakan pula mengalami kesulitan belajar.
3. Perbandingan antara potensi dan prestasi
Prestasi belajar yang dicapai seorang siswa akan tergantung dari tingkat
potensinya, baik yang berupa kecerdasan maupun bakat. Siswa yang
berpotensi tinggi cenderung dan seyogyanya dapat memperoleh prestasi
belajar yang tinggi pula. Sebaliknya, siswa yang memiliki potensi yang
rendah cenderung untuk memperoleh prestasi belajar yang rendah pula.
Dengan membandingkan antara potensi
dengan prestasi belajar yang dicapainya kita dapat memperkirakan sampai
sejauhmana dapat merealisasikan potensi yang dimikinya. Siswa dikatakan
mengalami kesulitan belajar, apabila prestasi yang dicapainya tidak
sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Misalkan, seorang siswa setelah
mengikuti pemeriksaan psikologis diketahui memiliki tingkat kecerdasan
(IQ) sebesar 120, termasuk kategori cerdas dalam skala Simon &
Binnet. Namun ternyata hasil belajarnya hanya mendapat nilai angka 6,
yang seharusnya dengan tingkat kecerdasan yang dimikinya dia paling
tidak dia bisa memperoleh angka 8. Contoh di atas menggambarkan adanya
gejala kesulitan belajar, yang biasa disebut dengan istilah
underachiever.
4. Kepribadian
Hasil belajar yang dicapai oleh seseorang akan tercerminkan dalam
seluruh kepribadiannya. Setiap proses belajar akan menghasilkan
perubahan-perubahan dalam aspek kepribadian. Siswa yang berhasil dalam
belajar akan menunjukkan pola-pola kepribadian tertentu, sesuai dengan
tujuan yang tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Siswa diakatan
mengalami kesulitan belajar, apabila menunjukkan pola-pola perilaku atau
kepribadian yang menyimpang dari seharusnya, seperti : acuh tak acuh, melalaikan tugas, sering membolos, menentang, isolated, motivasi lemah, emosi yang tidak seimbang dan sebagainya.
b. Diagnostik mengatasi kesulitan belajar
Belajar pada dasarnya merupakan proses
usaha aktif seseorang untuk memperoleh sesuatu, sehingga terbentuk
perilaku baru menuju arah yang lebih baik. Kenyataannya, para pelajar
seringkali tidak mampu mencapai tujuan belajarnya atau tidak memperoleh
perubahan tingkah laku sebagai mana yang diharapkan. Hal itu menunjukkan
bahwa siswa mengalami kesulitan belajar yang merupakan hambatan dalam
mencapai hasil belajar.
Sementara itu, setiap siswa dalam
mencapai sukses belajar, mempunyai kemampuan yang berbeda-beda. Ada
siswa yang dapat mencapainya tanpa kesulitan, akan tetapi banyak pula
siswa mengalami kesulitan, sehingga menimbulkan masalah bagi
perkembangan pribadinya.
Menghadapi masalah itu, ada kecendrungan
tidak semua siswa mampu memecahkannya sendiri. Seseorang mungkin tidak
mengetahui cara yang baik untuk memecahkan masalah sendiri. Ia tidak
tahu apa sebenarnya masalah yang dihadapi. Ada pula seseorang yang
tampak seolah tidak mempunyai masalah, padahal masalah yang dihadapinya
cukup berat.
Atas kenyataan itu, semestinya sekolah
harus berperan turut membantu memecahkan masalah yang dihadapi siswa.
Seperti diketahui, sekolah sebagai lembaga pendidikan formal
sekurang-kurangnya memiliki 3 fungsi utama. Pertama fungsi pengajaran,
yakni membantu siswa dalam memperoleh kecakapan bidang pengetahuan dan
keterampilan. Kedua, fungsi administrasi, dan ketiga fungsi pelayanan
siswa, yaitu memberikan bantuan khusus kepada siswa untuk memperoleh
pemahaman diri, pengarahan diri dan integrasi sosial yang lebih baik,
sehingga dapat menyesuaikan diri baik dengan dirinya maupun dengan
lingkungannya.
Setiap fungsi pendidikan itu, pada
dasarnya bertanggung jawab terhadap proses pendidikan pada umumnya.
Termasuk seorang guru yang berdiri di depan kelas, bertanggung jawab
pula atau melekat padanya fungsi administratif dan fungsi pelayanan
siswa. Hanya memang dalam pendidikan, pada dasarnya sulit memisahkan
secara tegas fungsi yang satu dengan fungsi yang lainnya, meskipun pada
setiap fungsi tersebut mempunyai penanggung jawab masing-masing. Dalam
hal ini, guru atau pembimbing dapat membawa setiap siswa kearah
perkembangan individu seoptimal mungkin dalam hubungannya dengan
kehidupan sosial serta tanggung jawab moral. Salah satu kegiatan yang
harus dilaksanakan oleh guru dalam melaksanakan tugas dan peranannya
ialah kegiatan evaluasi. Dilihat dari jenisnya evaluasi ada empat, yaitu sumatif, formatif, penempatan, dan diagnostik.
1. Diagnosis
Diagnosis merupakan upaya untuk
menemukan faktor-faktor penyebab atau yang melatarbelakangi timbulnya
masalah siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar faktor-faktor yang
penyebab kegagalan belajar siswa, bisa dilihat dari segi input, proses,
ataupun out put belajarnya. W.H. Burton membagi ke dalam dua bagian
faktor – faktor yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan atau kegagalan
belajar siswa, yaitu : (a) faktor internal; faktor yang besumber dari
dalam diri siswa itu sendiri, seperti : kondisi jasmani dan kesehatan,
kecerdasan, bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi
psikis lainnya; dan (b) faktor eksternal, seperti : lingkungan rumah,
lingkungan sekolah termasuk didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial
dan sejenisnya.
2. Prognosis
Langkah ini untuk memperkirakan apakah
masalah yang dialami siswa masih mungkin untuk diatasi serta menentukan
berbagai alternatif pemecahannya, Hal ini dilakukan dengan cara
mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil langkah kedua dan
ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih
dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang
kompeten untuk diminta bekerja sama menangani kasus – kasus yang
dihadapi.
3. Tes diagnostik
Pada konteks ini, penulis akan mencoba
menyoroti tes diagnostik kesulitan belajar yang kurang sekali
diperhatikan sekolah. Lewat tes itu akan dapat diketahui letak kelemahan
seorang siswa. Jika kelemahan sudah ditemukan, maka guru atau
pembimbing sebaiknya mengetahui hal-hal apa saja yang harus dilakukan
guna menolong siswa tersebut.
Tes dignostik kesulitan belajar sendiri dilakukan melalui pengujian dan
studi bersama terhadap gejala dan fakta tentang sesuatu hal, untuk
menemukan karakteristik atau kesalahn-kesalahan yang esensial. Tes
dignostik kesulitan belajar juga tidak hanya menyangkut soal aspek
belajar dalam arti sempit yakni masalah penguasaan materi pelajaran
semata, melainkan melibatkan seluruh aspek pribadi yang menyangkut
perilaku siswa.
Tujuan tes diagnostik untuk menemukan
sumber kesulitan belajar dan merumuskan rencana tindakan remidial.
Dengan demikian tes diagnostik sangat penting dalam rangka membantu
siswa yang mengalami kesulitan belajar dan dapat diatasi dengan segera
apabila guru atau pembinbing peka terhadap siswa tersebut. Guru atau
pembimbing harus mau meluangkan waktu guna memerhatikan keadaan siswa
bila timbul gejala-gejala kesulitan belajar.
Agar memudahkan pelaksanaan tes
diagnostik, maka guru perlu mengumpulkan data tentang anak secara
lengkap, sehingga penanganan kasus akan menjadi lebih mudah dan terarah.
Sejalan dengan kebijakan pemerintah
tentang dilaksanakannya ujian akhir nasional (UAN) dengan standar nilai
4,01, boleh jadi bagi sebagian siswa sangat berat. Pihak sekolah dalam
menghadapi
Salah satu antisipasinya pihak sekolah
atau guru, harus memberi perhatian khusus terhadap perbedaan kemampuan
individual siswa tersebut. Perhatian yang dimaksud yakni dengan
menyelenggarakan tes diagnostik. Jika tes itu dilaksanakan dengan
efektif dan efesien, penulis yakin permasalah perbedaan kemampan siswa
akan terselesaikan dengan baik
c. Bimbingan Belajar
Bimbingan belajar merupakan upaya guru
untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam belajarnya. Secara
umum, prosedur bimbingan belajar dapat ditempuh melalui langkah-langkah
sebagai berikut :
1. Identifikasi kasus
Identifikasi kasus merupakan upaya untuk menemukan siswa yang diduga
memerlukan layanan bimbingan belajar. Robinson dalam Abin Syamsuddin
Makmun (2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk
mendeteksi siswa yang diduga mebutuhkan layanan bimbingan belajar, yakni
:
1. Call them approach;
melakukan wawancara dengan memanggil semua siswa secara bergiliran
sehingga dengan cara ini akan dapat ditemukan siswa yang benar-benar
membutuhkan layanan bimbingan.
2. Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik,
penuh keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru dengan
siswa. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak
hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya
melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal
lainnya.
3. Developing a desire for counseling; menciptakan suasana yang
menimbulkan ke arah penyadaran siswa akan masalah yang dihadapinya.
Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan siswa yang bersangkutan
tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan
hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan
berbagai tindak lanjutnya.
4. Melakukan analisis terhadap hasil belajar siswa, dengan cara ini bisa
diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang
dihadapi siswa.
5. Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat ditemukan siswa yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial
2. Identifikasi Masalah
Langkah ini merupakan upaya untuk
memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah yang dihadapi
siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar, permasalahan siswa dapat
berkenaan dengan aspek : (a) substansial – material; (b) struktural –
fungsional; (c) behavioral; dan atau (d) personality. Untuk
mengidentifikasi masalah siswa, Prayitno dkk. telah mengembangkan suatu
instrumen untuk melacak masalah siswa, dengan apa yang disebut Alat
Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk mendeteksi
lokasi kesulitan yang dihadapi siswa, seputar aspek : (a) jasmani dan
kesehatan; (b) diri pribadi; (c) hubungan sosial; (d) ekonomi dan
keuangan; (e) karier dan pekerjaan; (f) pendidikan dan pelajaran; (g)
agama, nilai dan moral; (h) hubungan muda-mudi; (i) keadaan dan hubungan
keluarga; dan (j) waktu senggang.
3. Remedial atau referal (Alih Tangan Kasus)
Jika jenis dan sifat serta sumber
permasalahannya masih berkaitan dengan sistem pembelajaran dan masih
masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru atau guru pembimbing,
pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau guru
pembimbing itu sendiri. Namun, jika permasalahannya menyangkut
aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas maka
selayaknya tugas guru atau guru pembimbing sebatas hanya membuat
rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten.
4. Evaluasi dan Follow Up
Cara manapun yang ditempuh, evaluasi
atas usaha pemecahan masalah seyogyanya dilakukan evaluasi dan tindak
lanjut, untuk melihat seberapa pengaruh tindakan bantuan (treatment)
yang telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang dihadapi siswa.
Berkenaan dengan evaluasi bimbingan, Depdiknas telah memberikan kriteria-kriteria keberhasilan layanan bimbingan belajar, yaitu :
• Berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh siswa berkaitan dengan masalah yang dibahas;
• Perasaan positif sebagai dampak dari proses dan materi yang dibawakan melalui layanan, dan
• Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh siswa sesudah pelaksanaan
layanan dalam rangka mewujudkan upaya lebih lanjut pengentasan masalah
yang dialaminya.
Sementara itu, Robinson dalam Abin
Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan beberapa kriteria dari
keberhasilan dan efektivitas layanan yang telah diberikan, yaitu
apabila:
1. Siswa telah menyadari (to be aware of) atas adanya masalah yang dihadapi.
2. Siswa telah memahami (self insight) permasalahan yang dihadapi.
3. Siswa telah mulai menunjukkan kesediaan untuk menerima kenyataan diri dan masalahnya secara obyektif (self acceptance).
4. Siswa telah menurun ketegangan emosinya (emotion stress release).
5. Siswa telah menurun penentangan terhadap lingkungannya
6. Siswa mulai menunjukkan kemampuannya dalam mempertimbangkan,
mengadakan pilihan dan mengambil keputusan secara sehat dan rasional.
7. Siswa telah menunjukkan kemampuan melakukan usaha –usaha perbaikan
dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, sesuai dengan dasar
pertimbangan dan keputusan yang telah diambilnya
Jika Anda ingin mengetahui lebih lanjut
tentang bagaimana mekanisme penanganan siswa bermasalah, silahkan klik
tautan di bawah ini. Materi disajikan dalam bentuk tayangan slide
d. Model Pembelajaran
Dalam mengimplementasikan Kurikulum Berbasis Kompetensi,
E. Mulyasa (2003) mengetengahkan lima model pembelajaran yang dianggap
sesuai dengan tuntutan Kurikukum Berbasis Kompetensi; yaitu : (1)
Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning); (2) Bermain
Peran (Role Playing); (3) Pembelajaran Partisipatif (Participative
Teaching and Learning); (4) Belajar Tuntas (Mastery Learning); dan (5)
Pembelajaran dengan Modul (Modular Instruction). Sementara itu, Gulo (2005) memandang pentingnya strategi pembelajaran inkuiri (inquiry).
Di bawah ini akan diuraikan secara singkat dari masing-masing model pembelajaran tersebut.
1. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning)
Pembelajaran Kontekstual (Contextual
Teaching Learning) atau biasa disingkat CTL merupakan konsep
pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi pembelajaran
dengan dunia kehidupan nyata, sehingga peserta didik mampu
menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan
sehari-hari.
Dalam pembelajaran kontekstual, tugas
guru adalah memberikan kemudahan belajar kepada peserta didik, dengan
menyediakan berbagai sarana dan sumber belajar yang memadai. Guru bukan
hanya menyampaikan materi pembelajaran yang berupa hapalan, tetapi
mengatur lingkungan dan strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta
didik belajar.
Dengan mengutip pemikiran Zahorik, E.
Mulyasa (2003) mengemukakan lima elemen yang harus diperhatikan dalam
pembelajaran kontekstual, yaitu :
1. Pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan yang sudah dimiliki oleh peserta didik
2. Pembelajaran dimulai dari keseluruhan (global) menuju bagian-bagiannya secara khusus (dari umum ke khusus)
3. Pembelajaran harus ditekankan pada pemahaman, dengan cara: (a)
menyusun konsep sementara; (b) melakukan sharing untuk memperoleh
masukan dan tanggapan dari orang lain; dan (c) merevisi dan
mengembangkan konsep.
4. Pembelajaran ditekankan pada upaya mempraktekan secara langsung apa-apa yang dipelajari.
5. Adanya refleksi terhadap strategi pembelajaran dan pengembangan pengetahuan yang dipelajari.
2. Bermain Peran (Role Playing)
Bermain peran merupakan salah satu model
pembelajaran yang diarahkan pada upaya pemecahan masalah-masalah yang
berkaitan dengan hubungan antarmanusia (interpersonal relationship),
terutama yang menyangkut kehidupan peserta didik.
Pengalaman belajar yang diperoleh dari
metode ini meliputi, kemampuan kerjasama, komunikatif, dan
menginterprestasikan suatu kejadian Melalui bermain peran, peserta didik
mencoba mengeksplorasi hubungan-hubungan antarmanusia dengan cara
memperagakan dan mendiskusikannya, sehingga secara bersama-sama para
peserta didik dapat mengeksplorasi parasaan-perasaan, sikap-sikap,
nilai-nilai, dan berbagai strategi pemecahan masalah.
Dengan mengutip dari Shaftel dan
Shaftel, (E. Mulyasa, 2003) mengemukakan tahapan pembelajaran bermain
peran meliputi : (1) menghangatkan suasana dan memotivasi peserta didik;
(2) memilih peran; (3) menyusun tahap-tahap peran; (4) menyiapkan
pengamat; (5) menyiapkan pengamat; (6) tahap pemeranan; (7) diskusi dan
evaluasi tahap diskusi dan evaluasi tahap I ; (8) pemeranan ulang; dan
(9) diskusi dan evaluasi tahap II; dan (10) membagi pengalaman dan
pengambilan keputusan.
3. Pembelajaran Partisipatif (Participative Teaching and Learning)
Pembelajaran Partisipatif (Participative
Teaching and Learning) merupakan model pembelajaran dengan melibatkan
peserta didik secara aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi
pembelajaran. Dengan meminjam pemikiran Knowles, (E.Mulyasa,2003)
menyebutkan indikator pembelajaran partsipatif, yaitu : (1) adanya
keterlibatan emosional dan mental peserta didik; (2) adanya kesediaan
peserta didik untuk memberikan kontribusi dalam pencapaian tujuan; (3)
dalam kegiatan belajar terdapat hal yang menguntungkan peserta didik.
Pengembangan pembelajaran partisipatif dilakukan dengan prosedur berikut:
1. Menciptakan suasana yang mendorong peserta didik siap belajar.
2. Membantu peserta didik menyusun kelompok, agar siap belajar dan membelajarkan
3. Membantu peserta didik untuk mendiagnosis dan menemukan kebutuhan belajarnya.
4. Membantu peserta didik menyusun tujuan belajar.
5. Membantu peserta didik merancang pola-pola pengalaman belajar.
6. Membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar.
7. Membantu peserta didik melakukan evaluasi diri terhadap proses dan hasil belajar.
4. Belajar Tuntas (Mastery Learning)
Belajar tuntas berasumsi bahwa di dalam
kondisi yang tepat semua peserta didik mampu belajar dengan baik, dan
memperoleh hasil yang maksimal terhadap seluruh materi yang dipelajari.
Agar semua peserta didik memperoleh hasil belajar secara maksimal,
pembelajaran harus dilaksanakan dengan sistematis. Kesistematisan akan
tercermin dari strategi pembelajaran yang dilaksanakan, terutama dalam
mengorganisir tujuan dan bahan belajar, melaksanakan evaluasi dan
memberikan bimbingan terhadap peserta didik yang gagal mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Tujuan pembelajaran harus diorganisir secara
spesifik untuk memudahkan pengecekan hasil belajar, bahan perlu
dijabarkan menjadi satuan-satuan belajar tertentu,dan penguasaan bahan
yang lengkap untuk semua tujuan setiap satuan belajar dituntut dari para
peserta didik sebelum proses belajar melangkah pada tahap berikutnya.
Evaluasi yang dilaksanakan setelah para peserta didik menyelesaikan
suatu kegiatan belajar tertentu merupakan dasar untuk memperoleh balikan
(feedback). Tujuan utama evaluasi adalah memperoleh informasi tentang
pencapaian tujuan dan penguasaan bahan oleh peserta didik. Hasil
evaluasi digunakan untuk menentukan dimana dan dalam hal apa para
peserta didik perlu memperoleh bimbingan dalam mencapai tujuan, sehinga
seluruh peserta didik dapat mencapai tujuan ,dan menguasai bahan belajar
secara maksimal (belajar tuntas).
Strategi belajar tuntas dapat dibedakan
dari pengajaran non belajar tuntas dalam hal berikut : (1) pelaksanaan
tes secara teratur untuk memperoleh balikan terhadap bahan yang
diajarkan sebagai alat untuk mendiagnosa kemajuan (diagnostic progress
test); (2) peserta didik baru dapat melangkah pada pelajaran berikutnya
setelah ia benar-benar menguasai bahan pelajaran sebelumnya sesuai
dengan patokan yang ditentukan; dan (3) pelayanan bimbingan dan
konseling terhadap peserta didik yang gagal mencapai taraf penguasaan
penuh, melalui pengajaran remedial (pengajaran korektif).
Strategi belajar tuntas
dikembangkan oleh Bloom, meliputi tiga bagian, yaitu: (1)
mengidentifikasi pra-kondisi; (2) mengembangkan prosedur operasional dan
hasil belajar; dan (3c) implementasi dalam pembelajaran klasikal dengan
memberikan “bumbu” untuk menyesuaikan dengan kemampuan individual, yang
meliputi : (1) corrective technique yaitu semacam pengajaran remedial,
yang dilakukan memberikan pengajaran terhadap tujuan yang gagal dicapai
peserta didik, dengan prosedur dan metode yang berbeda dari sebelumnya;
dan (2) memberikan tambahan waktu kepada peserta didik yang membutuhkan
(sebelum menguasai bahan secara tuntas).
Di samping implementasi dalam
pembelajaran secara klasikal, belajar tuntas banyak diimplementasikan
dalam pembelajaran individual. Sistem belajar tuntas mencapai hasil yang
optimal ketika ditunjang oleh sejumlah media, baik hardware maupun
software, termasuk penggunaan komputer (internet) untuk mengefektifkan
proses belajar.
5. Pembelajaran dengan Modul (Modular Instruction)
Modul adalah suatu proses pembelajaran
mengenai suatu satuan bahasan tertentu yang disusun secara sistematis,
operasional dan terarah untuk digunakan oleh peserta didik, disertai
dengan pedoman penggunaannya untuk para guru. Pembelajaran dengan sistem
modul memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Setiap modul harus memberikan
informasi dan petunjuk pelaksanaan yang jelas tentang apa yang harus
dilakukan oleh peserta didik, bagaimana melakukan, dan sumber belajar
apa yang harus digunakan.
2. Modul meripakan pembelajaran individual, sehingga mengupayakan untuk
melibatkan sebanyak mungkin karakteristik peserta didik. Dalam setiap
modul harus : (1) memungkinkan peserta didik mengalami kemajuan belajar
sesuai dengan kemampuannya; (2) memungkinkan peserta didik mengukur
kemajuan belajar yang telah diperoleh; dan (3) memfokuskan peserta didik
pada tujuan pembelajaran yang spesifik dan dapat diukur.
3. Pengalaman belajar dalam modul disediakan untuk membantu peserta
didik mencapai tujuan pembelajaran seefektif dan seefisien mungkin,
serta memungkinkan peserta didik untuk melakukan pembelajaran secara
aktif, tidak sekedar membaca dan mendengar tapi lebih dari itu, modul
memberikan kesempatan untuk bermain peran (role playing), simulasi dan
berdiskusi.
4. Materi pembelajaran disajikan secara logis dan sistematis, sehingga
peserta didik dapat menngetahui kapan dia memulai dan mengakhiri suatu
modul, serta tidak menimbulkan pertanyaaan mengenai apa yang harus
dilakukan atau dipelajari.
5. Setiap modul memiliki mekanisme untuk mengukur pencapaian tujuan
belajar peserta didik, terutama untuk memberikan umpan balik bagi
peserta didik dalam mencapai ketuntasan belajar.
Pada umumnya pembelajaran dengan sistem
modul akan melibatkan beberapa komponen, diantaranya : (1) lembar
kegiatan peserta didik; (2) lembar kerja; (3) kunci lembar kerja; (4)
lembar soal; (5) lembar jawaban dan (6) kunci jawaban.
Komponen-komponen tersebut dikemas dalam format modul, sebagai berikut :
1. Pendahuluan; yang berisi deskripsi
umum, seperti materi yang disajikan, pengetahuan, keterampilan dan sikap
yang akan dicapai setelah belajar, termasuk kemampuan awal yang harus
dimiliki untuk mempelajari modul tersebut.
2. Tujuan Pembelajaran; berisi tujuan pembelajaran khusus yang harus
dicapai peserta didik, setelah mempelajari modul. Dalam bagian ini
dimuat pula tujuan terminal dan tujuan akhir, serta kondisi untuk
mencapai tujuan.
3. Tes Awal; yang digunakan untuk menetapkan posisi peserta didik dan
mengetahui kemampuan awalnya, untuk menentukan darimana ia harus memulai
belajar, dan apakah perlu untuk mempelajari atau tidak modul tersebut.
4. Pengalaman Belajar; yang berisi rincian materi untuk setiap tujuan
pembelajaran khusus, diikuti dengan penilaian formatif sebagai balikan
bagi peserta didik tentang tujuan belajar yang dicapainya.
5. Sumber Belajar; berisi tentang sumber-sumber belajar yang dapat ditelusuri dan digunakan oleh peserta didik.
6. Tes Akhir; instrumen yang digunakan dalam tes akhir sama dengan yang
digunakan pada tes awal, hanya lebih difokuskan pada tujuan terminal
setiap modul
Tugas utama guru dalam pembelajaran
sistem modul adalah mengorganisasikan dan mengatur proses belajar,
antara lain : (1) menyiapkan situasi pembelajaran yang kondusif; (2)
membantu peserta didik yang mengalami kesulitan dalam memahami isi modul
atau pelaksanaan tugas; (3) melaksanakan penelitian terhadap setiap
peserta didik.
6. Pembelajaran Inkuiri
Pembelajaran inkuiri merupakan kegiatan
pembelajaran yang melibatkan secara maksimal seluruh kemampuan siswa
untuk mencari dan menyelidiki sesuatu (benda, manusia atau peristiwa)
secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat
merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.
Joyce (Gulo, 2005) mengemukakan kondisi-
kondisi umum yang merupakan syarat bagi timbulnya kegiatan inkuiri bagi
siswa, yaitu : (1) aspek sosial di dalam kelas dan suasana
bebas-terbuka dan permisif yang mengundang siswa berdiskusi; (2)
berfokus pada hipotesis yang perlu diuji kebenarannya; dan (3)
penggunaan fakta sebagai evidensi dan di dalam proses pembelajaran
dibicarakan validitas dan reliabilitas tentang fakta, sebagaimana
lazimnya dalam pengujian hipotesis,
Proses inkuiri dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
1. Merumuskan masalah; kemampuan yang
dituntut adalah : (a) kesadaran terhadap masalah; (b) melihat pentingnya
masalah dan (c) merumuskan masalah.
2. Mengembangkan hipotesis; kemampuan yang dituntut dalam mengembangkan
hipotesis ini adalah : (a) menguji dan menggolongkan data yang dapat
diperoleh; (b) melihat dan merumuskan hubungan yang ada secara logis;
dan merumuskan
3. Menguji jawaban tentatif; kemampuan yang dituntut adalah : (a)
merakit peristiwa, terdiri dari : mengidentifikasi peristiwa yang
dibutuhkan, mengumpulkan data, dan mengevaluasi data; (b) menyusun data,
terdiri dari : mentranslasikan data, menginterpretasikan data dan
mengkasifikasikan data.; (c) analisis data, terdiri dari : melihat
hubungan, mencatat persamaan dan perbedaan, dan mengidentifikasikan
trend, sekuensi, dan keteraturan.
4. Menarik kesimpulan; kemampuan yang dituntut adalah: (a) mencari pola dan makna hubungan; dan (b) merumuskan kesimpulan
5. Menerapkan kesimpulan dan generalisasi
Guru dalam mengembangkan sikap inkuiri di kelas mempunyai peranan
sebagai konselor, konsultan, teman yang kritis dan fasilitator. Ia harus
dapat membimbing dan merefleksikan pengalaman kelompok, serta memberi
kemudahan bagi kerja kelompok.
E. Mengatasi Kesulitan Belajar
Kesulitan belajar
merupakan masalah yang cukup kompleks dan sering membuat orangtua
bingung mencari penyelesaiannya. Kesulitan belajar banyak ditemukan pada
anak usia sekolah. Pola belajar anak, memang dibentuk saat di sekolah
dasar. Sesuai dengan masanya ia mengalami perkembangan mental dan
pembentukan karakternya. Di masa kini anak tidak hanya belajar
menghitung, membaca, atau menghafal pengetahuan umum, tapi juga belajar
tentang tanggung jawab, skala nilai moral, skala nilai prioritas dalam
kegiatannya.
Masalah disiplin juga tidak kalah
pentingnya. Anak-anak sejak kecil sudah harus ditanamkan disiplin. Jika,
tidak sangat menentukan perkembangan karakter anak tersebut. Di dalam
kebudayaan Bugis-Makassar ada istilah macanga-canga atau memandang
enteng persoalan. Sering menunda-nunda jadwal belajar.
Dalam menghadapi perilaku anak seperti
ini, dalalm artikel Ibu Anak disebutkan setidaknya ada tiga hal yang
harus diperhatikan. Namun, sebelum memperhatikan hal tersebut, orangtua
hendaknya tidak mudah jatuh iba sehingga mengambil alih tugas anak.
Tentu dengan tujuan meringankan agar mereka bisa mengerjakan pekerjaan
rumah misalnya.
Sekali lagi orangtua tidak dianjurkan
membantu anak dengan cara mengambil alih, tapi bagaimana menuntun anak
agar pekerjaan rumah dikerjakan sendiri dalam situasi menyenangkan.
1. Perhatikan Mood
Untuk mengenal mood anak, seorang ibu harus mengenal karakter dan
kebiasaan belajar anak. Apakah anak belajar dengan senang hati atau
dalam keadaan kesal. Jika belajar dalam suasana hati yang senang, maka
apa yang akan dipelajari lebih cepat ditangkap. Bila saat belajar, ia
merasa kesal, coba untuk mencari tahu penyebab munculnya rasa kesal itu.
Apakah karena pelajaran yang sulit atau karena konsentrasi yang pecah.
Nah di sini tugas orangtua untuk menyenangkan hati si anak.
2. Siapkan Ruang Belajar
Kesulitan belajar anak bisa juga karena tempat yang tersedia tidak
memadai. Karena itu, coba sediakan tempat belajar untuk anak. Jika
kesulitan itu muncul karena tidak tersedianya meja, maka ajaklah anak
belajar di meja makan didampingi orangtuanya. Tentu sebelum belajar meja
makan harus dibersihkan lebih dahulu.
Selain itu, saat mengajari anak ini Anda bisa melakukannya dengan
menularkan cara belajar yang baik. Misalnya bercerita kepada anak
tentang bagaimana dahulu ibunya menyelesaikan mata pelajaran yang
dianggap sulit. Biasanya anak cepat larut dengan cerita ibunya sehingga
ia mencoba mencocok-cocokkan dengan apa yang dijalaninya sekarang.
3. Komunikasi
Masa kecil kita, pelajaran yang disukai tergantung bagaimana cara guru
itu mengajar. Tidak bisa dipungkiri perhatian terhadap mata pelajaran,
tentu ada kaitan dengan cara guru mengajar di kelas.
Sempatkan juga waktu dan dengarkan anak-anak bercerita tentang bagaimana
cara guru mereka mengajar di sekolah. Jika, anak Anda aktif maka banyak
sekali cerita yang lahir termasuk bagaimana guru kelas memperhatikan
baju, ikat rambut, dan sepatunya. Khusus soal komunikasi ini, biarkan
anak-anak bercerita tentang gurunya. Sejak dini biasakan anak
berperilaku sportif dan pandai menyampaikan pendapatnya. Selamat
mencoba.
Langkah-Langkah Tindakan Diagnosa Menurut C. Ross dan Julian Stanley, langkah-langkah mendiagnosis kesulitan belajar ada tiga tahap, yaitu :
1. Langkah-langkah diagnosis yang meliputi aktifitas, berupa
a. Identifikasi kasus
b. Lokalisasi jenis dan sifat kesulitan
c. Menemukan faktor penyebab baik secara internal maupun eksternal
2. Langkah prognosis yaitu suatu langkah untuk mengestimasi (mengukur),
memperkirakan apakah kesulitan tersebut dapat dibantu atau tidak.
3. Langkah Terapi yaitu langkah untuk
menemukan berbagai alternatif kemungkinan cara yang dapat ditempuh dalam
rangka penyembuhan kesulitan tersebut yang kegiatannya meliputi antara
lain pengajaran remedial, transfer atau referal.
Sasaran dari kegiatan diagnosis pada dasarnya ditujukan untuk memahami
karakteristik dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesulitan.
Dari ketiga pola pendekatan di atas dapat disimpulkan bahwa
langkah-langkah pokok prosedur dan teknik diagnosa kesulitan belajar
adalah sebagai berikut:
4. Mengidentifikasi siswa yang
diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Adapun langkah-langkah
mengidentifikasi siswa yang mengalami kesulitan belajar.
Menandai siswa dalam satu kelas atau
dalam satu kelompok yang diperkirakan mengalami kesulitan belajar baik
bersifat umum maupun khusus dalam bidang studi
Meneliti nilai ulangan yang tercantum
dalam “record academic” kemudian dibandingkan dengan nilai rata-rata
kelas atau dengan kriteria tingkat penguasaan minimal kompetensi yang
dituntut.
Menganalisis hasil ulangan dengan melihat sifat kesalahan yang dibuat.
Melakukan observasi pada saat siswa dalam kegiatan proses belajar
mengajar yaitu mengamati tingkah laku siswa dalam mengerjakan
tugas-tugas tertentu yang diberikan di dalam kelas, berusaha mengetahui
kebiasaan dan cara belajar siswa di rumah melalui check list
Mendapatkan kesan atau pendapat dari guru lain terutama wali kelas,dan guru pembimbing.
5. Mengalokasikan letaknya kesulitan
atau permasalahannya, dengan cara mendeteksi kesulitan belajar pada
bidang studi tertentu. Dengan membandingkan angka nilai prestasi siswa
yang bersangkutan dari bidang studi yang diikuti atau dengan angka nilai
rata-rata dari setiap bidang studi. Atau dengan melakukan analisis
terhadap catatan mengenai proses belajar. Hasil analisa empiris terhadap
catatan keterlambatan penyelesaian tugas, ketidakhadiran, kekurang
aktifan dan kecenderungan berpartisipasi dalam belajar.
6. Melokalisasikan jenis faktor dan sifat yang menyebabkan mengalami berbagai kesulitan.
7. Memperkirakan alternatif pertolongan.
Menetapkan kemungkinan cara mengatasinya baik yang bersifat mencegah
(preventif) maupun penyembuhan (kuratif).
Demikianlah prosedur dan teknik diagnosa
kesulitan belajar, di atas dapat dipergunakan. Namun penerapannya dalam
proses konseling bisa sangat bervariasi, bahkan ada beberapa pakar yang
mempunyai pandangan yang bertolak belakang atau kontradiktif. Bahkan,
menurut Carl Rogers, terapi atau pertolongan yang baik tidak membutuhkan
ketrampilan dan pengetahuan diagnosa. Hal ini bertolak belakang dengan
pendapat Wiliamson, Ellis, Freud, dan Thorn yang menekankan bahwa
diagnosa sebagai langkah yang perlu dipakai dalam pendekatan konseling,
termasuk konseling yang menangani kesulitan dalam belajar. Bahkan
ditekankan bahwa diagnosa merupakan bagian dari kegiatan konselor dalam
proses konseling. Seyogyanya seorang pembimbing atau konselor perlu
mengingat dan dapat bertindak bijaksana dalam mempertimbangkan kapan
sebaiknya diagnosa dipergunakan atau tidak untuk menolong siswa dalam
mengatasi kesulitan belajar.
Ada berbagai macam cara untuk
mengidentifikasi siswa, di antaranya seorang konselor dapat menggunakan
check list. Di samping penggunaan check list ini sangat efektif dan
efesien terutama bila jumlah siswa banyak, check list ini bisa berfungsi
sebagai alat pengayaan (screening device) untuk mengidentifikasi siswa
yang perlu segera atau skala prioritas yang harus ditolong.
Sebab-sebab yang mungkin mengakibatkan timbulnya kesulitan belajar, dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:
1. Banyak sebab yang menimbulkan pola
gejala yang sama. Seringkali gejala-gejala kesulitan belajar yang nampak
pada seorang siswa disebabkan oleh faktor-faktor yang berbeda dengan
yang lain yang memperlihatkan gejala yang sama.
2. Banyak pola gejala yang ditimbulkan
oleh sebab yang sama. Sebab yang nampak sama, dapat mengakibatkan gejala
yang berbeda-beda bagi siswa yang berlainan perlu diperhatikan adanya
kesesuaian antara sebab dengan kondisi tempat tinggal siswa.
3. Sebab-sebab yang saling berkaitan
dengan yang lain. Kesulitan yang menimbulkan reaksi dari orang-orang
disekelilingnya atau yang menyebabkan dia bereaksi pada dirinya sendiri
dengan cara yang selanjutnya , menyebabkan timbulnya kesulitan yang
baru.
Proses pemecahan kesulitan belajar pada siswa yaitu dimulai dengan
memperkirakan kemungkinan bantuan apakah siswa tersebut masih mungkin
ditolong untuk mengatasi kesulitannya atau tidak, berapa lama waktu yang
dibutuhkan untuk mengatasi kesulitan yang dialami oleh siswa tertentu,
dan dimana pertolongan itu dapat diberikan. Perlu dianalisis pula siapa
yang dapat memberikan pertolongan dan bantuan, bagaimana cara menolong
siswa yang efektif, dan siapa saja yang harus dilibatkan dalam proses
konseling.
Dalam proses pemberian bantuan, diperlukan bimbingan yang intensif dan
berkelanjutan agar siswa dapat mengembangkan diri secara optimal dan
menyesuaikan diri terhadap perkembangan pribadinya dan lingkungannya.
Kemampuan yang Harus Dimiliki Konselor Berkait dengan perannya sebagai
seorang konselor, tiap individu konselor harus memiliki kemampuan yang
profesional yaitu mampu melakukan langkah-langkah :
1. Mengumpulkan data tentang siswa
2. Mengamati tingkah laku siswa
3. Mengenal siswa yang memerlukan bantuan khusus
4. Mengadakan komunukasi dengan orang tua siswa untuk memperoleh keterangan dalam pendidikan anak.
5. Bekerjasama dengan masyarakat dan lembaga yang terkait untuk membantu memecahkan masalah siswa
6. Membuat catatan pribadi siswa
7. Menyelenggarakan bimbingan kelompok ataupun individual
8. Bekerjasama dengan konselor yang lain dalam menyusun program bimbingan sekolah
9. meneliti kemajuan siswa baik di sekolah maupun di luar sekolah
Mengingat sedemikian pentingnya peranan dan tanggung jawab konselor,
maka diperlukan dua persyaratan khusus bagi seorang konselor yaitu,
memiliki gelar kesarjanaan dalam bidang psikologi dan mempunyai
ciri-ciri dan kepribadian antara lain; dapat memahami orang lain secara
objektif dan simpatik, mampu mengadakan kerjasama dengan orang lain
dengan baik, memeliki kemampuan perspektif, memahami batas-batas
kemampuan sendiri, mempunyai perhatian dan minat terhadap masalah pada
siswa dan ada keinginan untuk membantu, dan harus memiliki sikap yang
bijak dan konsisten dalam mengambil keputusan.
Dengan dimilikinya kecakapan dan
persyaratan khusus seperti terurai di atas, seorang konselor diharapkan
mampu membantu mengatasi dan memecahkan masalah kesulitan belajar yang
dialami oleh siswa. Namun perlu diingat bahwa keberhasilan suatu
konseling akan bisa maksimal apabila ada keterbukaan dan kepercayaan
antara pihak klien dan konselor.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesulitan dalam pembelajaran atau
belajar merupakan suatu hal yang sering ditemui oleh para pendidik,
terutama guru. Sebagai upaya untuk memberikan terapi terhadap
permasalahan kesulitan belajar maka dapat ditempuh melalui media klinik
pembelajaran.
Klinik Pembelajaran
merupakan wadah bagi guru untuk melakukan serangkaian upaya yaitu
kegiatan refleksi, penemuan masalah, pemecahan masalah melalui beragam
strategi untuk meningkatkan ketrampilan dalam mengelola pembelajaran.
Strategi utama yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas.
Karena Klinik Pembelajaran merupakan
milik bersama para guru, maka tempat ini dapat digunakan dengan bebas
untuk berdiskusi, melakukan refleksi atau merenung tentang proses
pembelajaran yang telah dijalani, bersimulasi, misalnya bagaimana cara
mengajarkan suatu konsep dengan menyenangkan, dan membuat catatan
bersama-sama dengan teman sejawat. Di Klinik Pembelajaran, para
supervisor akan membantu dalam melakukan berbagai kegiatan tersebut.
Dalam klinik pembelajaran analisis
kesulitan pembelajaran dapat dilalui dengan identifikasi kesulitan
belajar, mengadakan diagnosis kesulitan belajar, melakukan bimbingan dan
konseling belajar, dan kemudian menetapkan model pembelajaran serta
mengatasi kesulitan belajar.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abin Syamsuddin, (2003), Psikologi Pendidikan, Bandung : PT Remaja Rosda Karya
Prayitno dan Erman Anti, (1995), Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta : P2LPTK Depdikbud
Prayitno (2003), Panduan Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Depdikbud Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah
Seri Pemandu Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di Sekolah,(1995),
Pelayanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah Menengah Umum (SMU) Buku
IV, Jakarta : IPBI
Winkel, W.S. (1991), Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Jakarta : Gramedia
Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya. Strategi Belajar Mengajar. Bandung : Pustaka Setia
E. Mulyasa.2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep; Karakteristik dan Implementasi. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
E. Mulyasa. 2004. Implementasi Kurikulum 2004; Panduan Pembelajaran KBK. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
Udin S. Winataputra, dkk. 2003. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Pusat Penerbitan Universitas Terbuka
W. Gulo. 2005. Strategi Belajar Mengajar Jakarta : Grasindo.