By:pahlianjaro.com
KATA PENGANTAR
Puji syukur
kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya makalah
ini dapat saya selesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam makalah ini saya membahas “Keimanan dan Ketakwaan”.
Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas
Materi yang saya paparkan dalam makalah ini tentunya jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik yang bersifat membangun sangat saya butuhkan untuk kesempurnaan makalah ini. Demikian makalah ini saya buat semoga bermanfaat.
Makalah ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas
Materi yang saya paparkan dalam makalah ini tentunya jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik yang bersifat membangun sangat saya butuhkan untuk kesempurnaan makalah ini. Demikian makalah ini saya buat semoga bermanfaat.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
D. Manfaat
BAB 2 PEMBAHASAN
A. Pengertian Iman
B. Wujud Iman
C. Proses Terbentuknya Iman
D. Tanda-Tanda Orang Beriman
E. Korelasi Keimanan dan Ketakwaan
BAB 3 PENUTUP
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Manusia
dalam menjalani kehidupan selalu berinteraksi dengan manusia lain atau dengan
kata lain melakukan interaksi sosial. Dalam melakukan interaksi sosial manusia
harus memiliki akhlak yang baik agar dalam proses interaksi tersebut tidak
mengalami hambatan atau masalah dengan manusia lain. Proses pembentuk akhlak
sangat berperan dengan masalah keimanan dan ketakwaan seseorang. Keimanan dan
Ketakwaan seseorang berbanding lurus dengan akhlak seseorang atau dengan kata
lain semakin baik keimanan dan ketakwaan seseorang maka semakin baik pula
akhlak seseorang hal ini karena keimanan dan ketakwaan adalah modal utama untuk
membentuk pribadi seseorang. Keimanan dan ketakwaan sebenarnya potensi yang ada
pada manusia sejak ia lahir dan melekat pada dirinya hanya saja sejalan dengan
pertumbuhan dan perkembangan seseorang yang telah terjamah oleh lingkungan
sekitarnya maka potensi tersebut akan semakin muncul atau
sebaliknya potensi itu akan hilang secara perlahan.
Saat ini keimanan dan
ketakwaan telah dianggap sebagai hal yang biasa, oleh masyarakat umum, bahkan
ada yang tidak mengetahui sama sekali arti yang sebenarnya dari keimanan dan
ketakwaan itu, hal ini dikarenakan manusia selalu menganggap remeh tentang hal
itu dan mengartikan keimanan itu hanya sebagai arti bahasa, tidak mencari makna
yang sebenarnya dari arti bahasa itu dan membiarkan hal tersebut berjalan
begitu saja. Oleh karena itu dari persoalan dan masalah-masalah yang terpapar
diataslah yang melatar belakangi saya untuk menulis tentang keimanan dan ketakwaan
yang saya bukukan menjadi sebuah makalah.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka saya merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apa
pengertian iman?
2. Bagaimana
wujud iman?
3. Bagaimana
proses terbentuknya iman?
4. Bagaimana
tanda-tanda orang yang beriman?
5. Apa
pengertian takwa?
6. Bagaimana
korelasi antara keimanan dan ketakwaan?
C. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini
adalah:
1. Mendeskripsikan pengertian iman
2. Memaparkan wujud iman
3. Menjelaskan proses terbentuknya iman
4. Memaparkan tanda-tanda orang yang beriman
5. Mendeskripsikan pengertian takwa
6. Menjelaskan korelasi antara keimanan dan ketakwaan
D. Manfaat
Manfaat
penulisan makalah ini adalah:
1. Bagi penulis: melatih potensi penulis dalam menyusun
makalah
2. Bagi pembaca: dapat menambah pengetahuan tentang
keimanan dan ketawaan serta mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Iman
Iman secara bahasa berarti at-tashdiiq (pembenaran), sebagaimana firman
Allah ta’ala :
Kebanyakan orang menyatakan
bahwa kata iman berasal dari kata kerja amina-yu’manu-amanan
yang berarti percaya. Oleh karena itu, iman yang berarti percaya menunjuk sikap
batin yang terletak dalam hati. Akibatnya, orang yang percaya kepada Allah dan
selainnya seperti yang ada dalam rukun iman, walaupun dalam sikap kesehariannya
tidak mencerminkan ketaatan dan kepatuhan (taqwa) kepada yang telah
dipercayainya, masih disebut orang yang beriman. Hal itu disebabkan karena
adanya keyakinan mereka bahwa yang tahu tentang urusan hati manusia adalah
Allah dan dengan membaca dua kalimah syahadat telah menjadi Islam.
Artinya:
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain
Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang
yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. Dan jika seandainya orang-orang
yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari
kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaan Allah semuanya, dan bahwa Allah amat
berat siksaan-Nya (niscaya mereka menyesal).”
Oleh karena itu beriman kepada Allah berarti amat sangat rindu terhadap
ajaran Allah, yaitu Al-Quran menurut Sunnah Rasul. Hal itu karena apa yang
dikehendaki Allah, menjadi kehendak orang yang beriman, sehingga dapat
menimbulkan tekad untuk mengorbankan segalanya dan kalau perlu mempertaruhkan
nyawa.
Dalam hadits diriwayatkan Ibnu Majah Atthabrani, iman didefinisikan dengan
keyakinan dalam hati, diikrarkan dengan lisan, dan diwujudkan dengan amal
perbuatan (Al-Immaanu ‘aqdun bil qalbi waigraarun billisaani wa’amalun bil
arkaan). Dengan demikian, iman merupakan kesatuan atau keselarasan antara hati,
ucapan, dan laku perbuatan, serta dapat juga dikatakan sebagai pandangan dan
sikap hidup atau gaya hidup.
Artinya: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al
kitab ? Mereka percaya kepada jibt dan thaghut , dan mengatakan kepada
orang-orang Kafir (musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari
orang-orang yang beriman.”
Artinya:”Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan antaramu. Dia mengetahui apa yang
di langit dan di bumi. Dan orang-orang yang percaya kepada yang batil dan
ingkar kepada Allah, mereka itulah orang-orang yang merugi.”
Sementara dalam al-Baqarah: 4, iman dirangkaikan dengan kata ajaran yang
diturunkan Allah (yu’minuuna bimaa unzila ilaika wamaa unzila min qablika).
Kata iman yang tidak dirangkaikan dengan kata lain dalam al-Qur’an,
mengandung arti positif. Dengan demikian, kata iman yang tidak dikaitkan dengan
kata Allah atau dengan ajarannya, dikatakan sebagai iman haq. Sedangkan
yang dikaitkan dengan selainnya, disebut iman bathil.
Definisi Iman Secara Istilah Syar’iy
1. Al-Imaam Ismaa’iil bin Muhammad At-Taimiy
rahimahullah berkata :
الإيمان في الشرع عبارة عن جميع الطاعات الباطنة
والظاهرة
“Iman dalam pengertian syar’iy adalah satu
perkataan yang mencakup makna semua ketaatan lahir dan batin” [Al-Hujjah fii
Bayaanil-Mahajjah, 1/403].
An-Nawawiy menukil perkataannya :
الإيمان في لسان الشرع هو التصديق بالقلب والعمل
بالأركان
“Iman dalam istilah syar’iy adalah pembenaran
dengan hati dan perbuatan dengan anggota tubuh” [Syarh Shahih Muslim, 1/146].
2. Imaam Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah berkata :
أجمع أهل الفقه والحديث على أن الإيمان قول وعمل، ولا
عمل إلا بنية
“Para ahli fiqh dan hadits telah sepakat
bahwasannya iman itu perkataan dan perbuatan. Dan tidaklah ada perbuatan
kecuali dengan niat” [At-Tamhiid, 9/238].
3. Al-Imaam Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :
حقيقة الإيمان مركبة من قول وعمل. والقول قسمان : قول
القلب، وهو الاعتقاد، وقول اللسان، وهو التكلّم بكلمة الإسلام. والعمل قسمان : عمل
القلب، وهو نيته وإخلاصه، وعمل الجوارح. فإذا زالت هذه الأربعة، زال الإيمان
بكماله، وإذا زال تصديق القلب، لم تنفع بقية الأجزاء
“Hakekat iman terdiri dari perkataan dan
perbuatan. Perkataan ada dua : perkataan hati, yaitu i’tiqaad; dan perkataan
lisan, yaitu perkataan tentang kalimat Islam (mengikrarkan syahadat –
Abul-Jauzaa’). Perbuatan juga ada dua : perbuatan hati, yaitu niat dan
keikhlasannya; dan perbuatan anggota badan. Apabila hilang keempat hal
tersebut, akan hilang iman dengan kesempurnaannya. Dan apabila hilang
pembenaran (tashdiiq) dalam hati, tidak akan bermanfaat tiga hal yang lainnya”
[Ash-Shalaah wa Hukmu Taarikihaa, hal. 35].
Jadi, dapat
disimpulkan bahwa pengertian iman adalah pembenaran dengan segala keyakinan
tanpa keraguan sedikitpun mengenai yang datang dari Allah SWT dan rasulNya.
B. Wujud Iman
Akidah Islam dalam al-Qur’an disebut iman. Iman bukan hanya berarti
percaya, melainkan keyakinan yang mendorong seorang muslim untuk berbuat. Oleh
karena itu lapangan iman sangat luas, bahkan mencakup segala sesuatu yang
dilakukan seorang muslim yang disebut amal saleh.
Seseorang dinyatakan iman bukan hanya percaya terhadap sesuatu, melainkan
kepercayaan itu mendorongnya untuk mengucapkan dan melakukan sesuatu sesuai
dengan keyakinan. Karena itu iman bukan hanya dipercayai atau diucapkan,
melainkan menyatu secara utuh dalam diri seseorang yang dibuktikan dalam
perbuatannya.
Akidah Islam adalah bagian yang paling pokok dalam agama Islam. Ia
merupakan keyakinan yang menjadi dasar dari segala sesuatu tindakan atau amal.
Seseorang dipandang sebagai muslim atau bukan muslim tergantung pada akidahnya.
Apabila ia berakidah Islam, maka segala sesuatu yang dilakukannya akan bernilai
sebagai amaliah seorang muslim atau amal saleh. Apabila tidak beraqidah, maka
segala amalnya tidak memiliki arti apa-apa, kendatipun perbuatan yang dilakukan
bernilai dalam pendengaran manusia.
Akidah Islam atau iman mengikat seorang muslim, sehingga ia terikat dengan
segala aturan hukum yang datang dari Islam. Oleh karena itu menjadi seorang
muslim berarti meyakini dan melaksanakan segala sesuatu yang diatur dalam
ajaran Islam. Seluruh hidupnya didasarkan pada ajaran Islam.
Wujud Iman menurut Hasan Al-Bana di
antaranya:
1. Ilahiyah:
Hubungan dengan Allah
2. Nubuwwah:
Kaitan dengan Nabi, Rasul, kitab, dan mukjizat
3. Ruhaniyah:
Kaitan dengan alam metafisik; Malaikat, Jin, Syetan, Ruh
4. Sam’iyah:
Segala sesuatu yang bisa diketahui melalui sam’i
C. Proses Terbentuknya Iman
Spermatozoa dan ovum yang diproduksi dan dipertemukan atas dasar ketentuan
yang digariskan ajaran Allah, merupakan benih yang baik. Allah menginginkan
agar makanan yang dimakan berasal dari rezeki yang halalanthayyiban.
Pandangan dan sikap hidup seorang ibu yang sedang hamil mempengaruhi psikis
yang dikandungnya. Ibu yang mengandung tidak lepas dari pengaruh suami, maka
secara tidak langsung pandangan dan sikap hidup suami juga berpengaruh secara
psikologis terhadap bayi yang sedang dikandung. Oleh karena jika seseorang
menginginkan anaknya kelak menjadi mukmin yang muttaqin, maka isteri
hendaknya berpandangan dan bersikap sesuai dengan yang dikehendaki Allah.
Benih iman yang dibawa sejak dalam kandungan memerlukan pemupukan yang
berkesinambungan. Benih yang unggul apabila tidak disertai pemeliharaan yang
intensif, besar kemungkinan menjadi punah. Demikian pula halnya dengan benih
iman. Berbagai pengaruh terhadap seseorang akan mengarahkan iman/kepribadian
seseorang, baik yang datang dari lingkungan keluarga, masyarakat, pendidikan,
maupun lingkungan termasuk benda-benda mati seperti cuaca, tanah, air, dan
lingkungan flora serta fauna.
Pengaruh pendidikan keluarga secara langsung maupun tidak langsung, baik
yang disengaja maupun tidak disengaja amat berpengaruh terhadap iman seseorang.
Tingkah laku orang tua dalam rumah tangga senantiasa merupakan contoh dan
teladan bagi anak-anak. Tingkah laku yang baik maupun yang buruk akan ditiru
anak-anaknya. Jangan diharapkan anak berperilaku baik, apabila orang tuanya
selalu melakukan perbuatan yang tercela. Dalam hal ini Nabi SAW bersabda,
“Setiap anak, lahir membawa fitrah. Orang tuanya yang berperan menjadikan anak
tersebut menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi”.
Pada dasarnya, proses pembentukan iman juga demikian. Diawali dengan proses
perkenalan, kemudian meningkat menjadi senang atau benci. Mengenal ajaran Allah
adalah langkah awal dalam mencapai iman kepada Allah. Jika seseorang tidak
mengenal ajaran Allah, maka orang tersebut tidak mungkin beriman kepada Allah.
Seseorang yang menghendaki anaknya menjadi mukmin kepada Allah, maka ajaran
Allah harus diperkenalkan sedini mungkin sesuai dengan kemampuan anak itu dari
tingkat verbal sampai tingkat pemahaman. Bagaimana seorang anak menjadi mukmin,
jika kepada mereka tidak diperkenalkan al-Qur’an.
Di samping proses pengenalan, proses pembiasaan juga perlu diperhatikan,
karena tanpa pembiasaan, seseorang bisa saja semula benci berubah menjadi
senang. Seorang anak harus dibiasakan untuk melaksanakan apa yang diperintahkan
Allah dan menjauhi hal-hal yang dilarang-Nya, agar kelak setelah dewasa menjadi
senang dan terampil dalam melaksanakan ajaran-ajaran Allah.
Berbuat sesuatu secara fisik adalah satu bentuk tingkah laku yang mudah
dilihat dan diukur. Tetapi tingkah laku tidak terdiri atas perbuatan yang
tampak saja. Di dalamnya tercakup juga sikap-sikap mental yang tidak selalu
mudah ditanggapi kecuali secara fisik langsung (misalnya, melalui ucapan atau
perbuatan yang diduga dapat menggambarkan sikap mental tersebut), bahkan secara
tidak langsung itu adakalanya cukup sulit menarik kesimpulan yang teliti. Di
dalam tulisan ini dipergunakan istilah tingkah laku dalam arti luas dan
dikaitkan dengan nilai-nilai hidup, yakni seperangkat nilai yang diterima oleh
manusia sebagai nilai yang penting dalam kehidupan, yaitu iman. Yang dituju adalah
tingkah laku yang merupakan perwujudan nilai-nilai hidup tertentu, yang disebut
tingkah laku terpola.
Dalam keadaan tertentu, sifat, arah, dan intensitas tingkah laku dapat
dipengaruhi melalui campur tangan secara langsung, yakni dalam bentuk intervensi
terhadap interaksi yang terjadi. Dalam hal ini dijelaskan beberap prinsip
dengan mengemukakan implikasi metodologinya, yaitu:
1. Prinsip pembinaan
berkesinambungan
Proses pembentukan iman adalah suatu proses yang penting, terus menerus,
dan tidak berkesudahan. Belajar adalah suatu proses yang memungkinkan orang
semakin lama semakin mampu bersikap selektif. Implikasinya ialah diperlukan
motivasi sejak kecil dan berlangsung seumur hidup. Oleh karena itu penting
mengarahkan proses motivasi agar membuat tingkah laku lebih terarah dan
selektif menghadapi nilai-nilai hidup yang patut diterima atau yang seharusnya
ditolak.
2. Prinsip internalisasi dan
individuasi
Suatu nilai hidup antara lain iman dapat lebih mantap terjelma dalam bentuk
tingkah laku tertentu, apabila anak didik diberi kesempatan untuk menghayatinya
melalui suatu peristiwa internalisasi (yakni usaha menerima nilai
sebagai bagian dari sikap mentalnya) dan individuasi (yakni menempatkan
nilai serasi dengan sifat kepribadiannya). Melalui pengalaman penghayatan
pribadi, ia bergerak menuju satu penjelmaan dan perwujudan nilai dalam diri
manusia secara lebih wajar dan “amaliah”, dibandingkan bilamana nilai itu
langsung diperkenalkan dalam bentuk “utuh”, yakni bilamana nilai tersebut
langsung ditanamkan kepada anak didik sebagai suatu produk akhir semata-mata.
Prinsip ini menekankan pentingnya mempelajari iman sebagai proses
(internalisasi dan individuasi). Implikasi metodologinya ialah bahwa pendekatan
untuk membentuk tingkah laku yang mewujudkan nilai-nilai iman tidak dapat hanya
mengutamakan nilai-nilai itu dalam bentuk jadi, tetapi juga harus mementingkan
proses dan cara pengenalan nilai hidup tersebut. Dari sudut anak didik, hal ini
bahwa seyogianya anak didik mendapat kesempatan sebaik-baiknya mengalami proses
tersebut sebagai peristiwa pengalaman pribadi, agar melalui
pengalaman-pengalaman itu terjadi kristalisasi nilai iman.
3. Prinsip sosialisasi
Pada umumnya nilai-nilai hidup bru benar-benar mempunyai arti apabila telah
memperoleh dimensi sosial. Oleh karena itu suatu bentuk tingkah laku terpola
baru teruji secara tuntas bilamana sudah diterima secara sosial. Implikasi
metodologinya ialah bahwa usaha pembentukan tingkah laku mewujudkan nilai iman
hendaknya tidak diukur keberhasilannya terbatas pada tingkat individual (yaitu
hanya dengan memperhatikan kemampuan seseorang dalam kedudukannya sebagai
individu), tetapi perlu mengutamakan penilaian dalam kaitan kehidupan interaksi
sosial (proses sosialisasi) orang tersebut. Pada tingkat akhir harus terjadi
proses sosialisasi tingkah laku, sebagai kelengkapan proses individuasi, karena
nilai iman yang diwujudkan ke dalam tingkah laku selalu mempunyai dimensi
sosial.
4. Prinsip konsistensi dan koherensi
Nilai iman lebih mudah tumbuh terakselerasi, apabila sejak semula ditangani
secara konsisten, yaitu secara tetap dan konsekuen, serta secara koheren, yaitu
tanpa mengandung pertentangan antara nilai yang satu dengan nilai lainnya.
Implikasi metodologinya adalah bahwa usaha yang dikembangkan untuk mempercepat
tumbuhnya tingkah laku yang mewujudkan nilai iman hendaknya selalu konsisten
dan koheren. Alasannya, caranya dan konsekuensinya dapat dihayati dalam sifat
dan bentuk yang jelas dan terpola serta tidak berubah-ubah tanpa arah.
Pendekatan demikian berarti bahwa setiap langkah yang terdahulu akan mendukung
serta memperkuat langkah-langkah berikutnya. Apabila pendekatan yang konsisten
dan koheren sudah tampat, maka dapat diharapkan bahwa proses pembentukan
tingkah laku dapat berlangsung lebih lancar dan lebih cepat, karena kerangka
pola tingkah laku sudah tercipta.
5. Prinsip integrasi
Hakikat kehidupan sebagai totalitas, senantiasa menghadapkan setiap orang
pada problematika kehidupan yang menuntut pendekatan yang luas dan menyeluruh.
Jarang sekali fenomena kehidupan yang berdiri sendiri. Begitu pula dengan
setiap bentuk nilai hidup yang berdimensi sosial. Oleh karena itu tingkah laku
yang dihubungkan dengan nilai iman tidak dapat dibentuk terpisah-pisah. Makin
integral pendekatan seseorang terhadap kehidupan, makin fungsional pula
hubungan setiap bentuk tingkah laku yang berhubungan dengan nilai iman yang
dipelajari. Implikasi metodologinya ialah agar nilai iman hendaknya dapat
dipelajari seseorang tidak sebagai ilmu dan keterampilan tingkah laku yang
terpisah-pisah, tetapi melalui pendekatan yang integratif, dalam kaitan
problematik kehidupan yang nyata.
D. Tanda-Tanda Orang Beriman
Al-Qur’an menjelaskan
tanda-tanda orang yang beriman sebagai berikut:
1.
Jika disebut nama Allah, maka hatinya bergetar
dan berusaha agar ilmu Allah tidak lepas dari syaraf memorinya, serta jika
dibacakan ayat al-Qur’an, maka bergejolak hatinya untuk segera melaksanakannya
(al-Anfal: 2). Dia akan memahami ayat yang tidak dia pahami.
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama
Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah
iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.”
2. Senantiasa tawakal, yaitu
bekerja keras berdasarkan kerangka ilmu Allah, diiringi dengan doa, yaitu
harapan untuk tetap hidup dengan ajaran Allah menurut Sunnah Rasul (Ali
Imran: 120, al-Maidah: 12, al-Anfal: 2, at-Taubah: 52,
Ibrahim: 11, Mujadalah: 10, dan at-Taghabun:13).
3.
Tertib dalam melaksanakan shalat dan selalu
menjaga pelaksanaannya (al-Anfal: 3 dan al-Mu’minun: 2, 7).
Bagaimanapun sibuknya, kalau sudah masuk waktu shalat, dia segera shalat untuk
membina kualitas imannya.
Artinya: “Jika kamu memperoleh
kebaikan, niscaya mereka bersedih hati, tetapi Jika kamu mendapat bencana,
mereka bergembira karenanya. Jika kamu bersabar dan bertakwa, niscaya tipu daya
mereka sedikitpun tidak mendatangkan kemudharatan kepadamu. Sesungguhnya Allah
mengetahui segala apa yang mereka kerjakan.”
4. Menafkahkan rezki yang
diterimanya (al-Anfal: 3 dan al-Mukminun:4). Hal ini dilakukan sebagai suatu
kesadaran bahwa harta yang dinafkahkan di jalan Allah merupakan upaya
pemerataan ekonomi, agar tidak terjadi ketimpangan antara yang kaya dengan yang
miskin.
Artinya: “dan orang-orang yang menunaikan zakat”
5.
Menghindari perkataan yang tidak bermanfaat dan
menjaga kehormatan (al-Mukminun: 3,5). Perkataan yang bermanfaat atau
yang baik adalah yang berstandar ilmu Allah, yaitu al-Qur’an menurut Sunnah
Rasulullah.
Artinya:”dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang
tiada berguna”
6.
Memelihara amanah dan menepati janji (al-Mukminun:) Seorang mu’min tidak akan berkhianat dan dia akan selalu memegang amanah
dan menepati janji.
Artinya:”kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki ; maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela.”
7. Berjihad di jalan Allah dan
suka menolong (al-Anfal:74). Berjihad di jalan Allah adalah bersungguh-sungguh
dalam menegakkan ajaran Allah, baik dengan harta benda yang dimiliki maupun
dengan nyawa.
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah,
dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada
orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman.
Mereka memperoleh ampunan dan rezeki (ni'mat) yang mulia.
8. Tidak meninggalkan pertemuan
sebelum meminta izin (an-Nur: 62). Sikap seperti itu merupakan salah satu sikap
hidup seorang mukmin, orang yang berpandangan dengan ajaran Allah menurut
Sunnah Rasul.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
Iman adalah
adalah pembenaran dengan segala keyakinan tanpa keraguan sedikitpun mengenai yang
datang dari Allah SWT dan rasulNya.
Wujud Iman ada 4, yakni:
1. Ilahiyah:
Hubungan dengan Allah
2. Nubuwwah:
Kaitan dengan Nabi, Rasul, kitab, dan mukjizat
3. Ruhaniyah:
Kaitan dengan alam metafisik; Malaikat, Jin, Syetan, Ruh
4. Sam’iyah:
Segala sesuatu yang bisa diketahui melalui sam’i
Prinsip-prinsip pembentukan iman
adalah
1. Prinsip pembinaan
berkesinambungan
2. Prinsip internalisasi dan
individuasi
3. Prinsip sosialisasi
4. Prinsip konsistensi dan koherensi
5. Prinsip integrasi
Tanda-tanda orang yang beriman
sebagai berikut:
1. Jika disebut nama Allah, maka hatinya bergetar dan berusaha agar ilmu Allah
tidak lepas dari syaraf memorinya, serta jika dibacakan ayat al-Qur’an, maka
bergejolak hatinya untuk segera melaksanakannya
2. Senantiasa tawakal
3. Tertib dalam melaksanakan shalat dan selalu menjaga
4. Menafkahkan rezki yang diterimanya
5. Menghindari perkataan yang tidak bermanfaat dan menjaga kehormatan
6. Memelihara amanah dan menepati janji
7. Berjihad di jalan Allah dan suka menolong
8. Tidak meninggalkan pertemuan
sebelum meminta izin