Sabtu, 16 Juni 2012

1
KONSELING PRA NIKAH BAGI MAHASISWA
DI PERGURUAN TINGGI MELALUI
PENDEKATAN KELOMPOK
Oleh :
PAHLIANOOR
10862012444
JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS ACHMAD YANI BANJAR MASIN
2010
2
A. PENGANTAR
Proses perkembangan adalah rentangan kehidupan individu yang
dijalani dari fase ke fase, yaitu mulai dari fase : pranatal, bayi, kanakkanak,
anak-anak, remaja, dewa, dan berakhir dengan fase tua.
Mahasiswa adalah individu yang sedang memasuki fase dewasa
awal, yaitu merupakan fase usia yang tidak hanya menuntut untuk
sekedar lebih meningkatkan kualitas pengetahuannya saja, namun juga
keterampilan dan kualitas pribadi sebagai bekal untuk hidup secara
mandiri. Pencapaian pendidikan pada jenjang ini, diharapkan memiliki
kemampuan dan wawasan yang lebih luas serta berpeluang untuk
memasuki dunia kerja dan hidup di masyarakat sekaligus memiliki
kesiapan untuk hidup berkeluarga.
. Ditinjau dari tugas perkembangan yang sedang dihadapi pada
fase usia dewasa awal, maka salah satu tugas perkembangan yang
sedang dihadapi mahasiswa adalah “mempersiapkan pernikahan dan
hidup berkeluarga”.
Konsekuensinya, diharapkan para mahasiswa mampu
menyelesaikan tugas perkembangannya dengan secara efektif dan
optimal, baik dalam tugas akademiknya sebagai calon cendikia, juga
dalam mempersiapkan karir dan pernikahan dalam hidup berkeluarga.
Realisasinya, proses perjalanan yang ditempuh tidak selalu dalam
kondisi yang mulus dan sekaligus tercapai sesuai target yang
diharapkan dan direncanakan. Adakalanya perkuliahan ditempuh sesuai
3
tepat waktu, karir dan pernikahan menyusul kemudian. Namun juga,
adakalanya perkuliahan dan karir belum tercapai, pernikahan harus
sudah mendahuluinya. Begitulah nampaknya berdasarkan fenomena
yang ada.
Bahkan jika menyoroti sebuah isu pernikahan yang berkembang
pada masa remaja akhir dan dewasa awal terutama bagi mereka yang
sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi, terkadang mereka
dihadapkan kepada pemikiran dan perasaan yang berkecamuk antara
mengambil keputusan untuk menikah atau menunda waktu untuk
menikah, merencanakan waktu yang tepat untuk menikah, menetapkan
tipe atau kriteria pasangan yang diharapkan, kemampuan
mendeskripsikan pernikahan yang hendak dicapai, belajar memahami
peran sebagai suami atau isteri, memahami keuntungan dan kerugian
antara hidup sendiri atau menikah, mengenal dan memahami faktorfaktor
yang mempengaruhi dalam mempersiapkan pernikahan dan hidup
berkeluarga, melakukan upaya yang dapat mengantisipasi terjadinya
ketidakpuasan dalam membuat keputusan untuk sebuah pernikahan.
(Mengadaptasi pernyataan Marcia et al., dalam Kenedi G. ; 2005 : 2-3).
Merujuk kepada fenomena di atas, khususnya dalam menghadapi
salah satu tugas perkembangan yang sedang dihadapi yaitu memilih
pasangan hidup, mempersiapkan pernikahan dan hidup berkeluarga,
bagi mahasiswa tidak lepas dari permasalahan yang cenderung harus
dihadapinya. Hal ini terkadang tidak dapat untuk di atasi sendiri, namun
4
sangat memerlukan bantuan orang lain untuk saling berbagi
pengalaman. Kondisi seperti ini cenderung mereka perlukan jika bertemu
baik dengan sesama teman yang sedang berada pada permasalahan
yang sama, maupun dengan melalui bantuan dosen pembimbing atau
dosen wali kelas.
Implikasinya, para pendidik di Perguruan Tinggi, khususnya para
Dosen Pembimbing Akademik, wali kelas, atau melalui wadah UPT
Layanan Bimbingan Konseling, berkewajiban memiliki peran, tugas, dan
tanggung jawab dalam memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan mahasiswa,
terutama dalam mengantisipasi serta menangani para mahasiswa yang
memerlukan bimbingan khususnya dalam menghadapi persiapan untuk
memasuki hidup berkeluarga melalui pernikahan. Melalui pendekatan
konseling kelompok, khususnyan yang difasilitasi melalui UPT Layanan
Bimbingan dan Konseling , maupun langsung melalui dosennya masingmasing,
diharapkan para mahasiswa memperoleh perubahan dan
perbaikan pada diri sendiri melalui peningkatan pemahaman dan
kesadaran serta penyesuaian yang lebih baik, dalam menghadapi
persiapan kehidupan dimasa datang, baik kehidupan dalam
bersosialisasi / bermasyarakat, berkarir, maupun menghadapi kehidupan
berkeluarga., sesuai dengan norma sosial dan kultur masyarakat dimana
individu mahasiswa itu berada.
Salah satu upaya bantuan yang diberikan kepada mahasiswa
adalah dengan melalui pendekatan konseling kelompok. Dengan melalui
5
pendekatan kelompok, menggambarkan betapa pentingnya nilai
kebersamaan, kekompakan, saling memahami dan bekerjasama untuk
menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dalam meraih tujuan yang ingin
dicapai. Seperti sabda Nabi Muhammad SAW : “Sesungguhnya interaksi
antara individu (muslim) dengan yang lainnya laksana jari-jemari yang
tidak pernah berhenti untuk saling membantu dan mengasihi” (Al-
Hadist).
Pendekatan konseling kelompok cenderung lebih efektif
dibandingkan dengan konseling individual. Tentang keefektifannya,
selanjutnya Gibsom dan Mitchell (1995 : 185) mengasumsikan sebagai
berikut.
1. .Manusia itu berorientasi kelompok. Orang-orang saling
melengkapi, membantu, dan menikmati satu sama lain. Kelompok
merupakan suatu tempat yang alami bagi terjadinya proses
tersebut.
2. Manusia berusaha memenuhi kebutuhannya yang paling
mendasar dan bersifat pribadi-sosial melalui kelompok, meliputi
kebutuhan untuk mengetahui dan tumbuh secara mental; dengan
demikian, kelompok merupakan jalan yang paling alami dan
expeditious untuk belajar.
3. Secara konsekuen, kelompok merupakan tempat yang paling
berpengaruh dalam teknik-teknik pertumbuhan, belajar,
6
pengembangan pola perilaku, gaya coping, nilai-nilai, potensi
karir, dan penyesuaian diri seseorang.
Dengan melalui tugas makalah dalam mata kuliah Konseling di
Perguruan Tinggi yang merupakan mata kuliah Kajian Mandiri ini,
diharapkan akan dapat memberikan kontribusi terhadap seluruh pihak
yang terkait, khususnya pertama, bagi penulis dalam rangka
penyelesaian salah satu tugas mata kuliah, kedua, dalam rangka
rencana penulisan ‘ disertasi’ sebagai akhir persyaratan selesainya
perkuliahan. Kontribusi berikut, sebagai masukan bagi pengembangan
program bimbingan dan konseling di Perguruan Tinggi, khususnya
Universitas Pendidikan Indonesia.
B. KONSEP POKOK MATERI
Konsep pokok materi yang dikemukakan dalam makalah ini
mencakup aspek-aspek berikut.
1. Mahasiswa sebagai Fase Usia Dewasa
2. Selintas tentang Konseling Kelompok
3. Selintas tentang Konseling Pra nikah
4. Konseling Pra nikah Melalui Pendekatan Kelompok
1. Mahasiswa Sebagai Fase Usia Dewasa
Masa dewasa awal atau early adulthood (18- 25 tahun)
merupakan masa penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru
7
dan harapan-harapan sosial yang baru sebagai orang dewasa. Orang
dewasa awal diharapkan dapat memainkan peran baru sebagai suami
atau istri, sebagai orang tua, sebagai pekerja, dan sebagai anggota
masyarakat. Peran baru yang dimainkan oleh orang dewasa awal harus
diikuti oleh perubahan sikap, keinginan dan nilai-nilai yang sesuai
dengan peran baru tersebut. Orang dewasa awal sering mengalami
kesulitan dalam melakukan penyesuaian diri secara mandiri dan
bertanggung jawab terhadap peran baru yang ia miliki, baik sebagai
suami, istri, pekerja maupun anggota masyarakat.
Berikut dikemukakan ciri-ciri umum tahap perkembangan dewasa
awal adalah : 1) Masa pengaturan, usia dewasa awal merupakan saat
dimana seseorang mulai menerima tanggung jawab sebagai orang
dewasa. 2) Usia reproduktif, usia dewasa awal merupakan masa yang
paling produktif untuk memiliki keturunan, dengan memiliki anak mereka
akan mmiliki peran baru sebagai orang tua. 3) Masa Bersalah, pada usia
dewasa awal akan muncul masalah-masalah baru yang berbeda dengan
masalah sebelumnya, diantaranya masalah pernikahan.4) Masa
ketegangan emosional, usia dewasa awal merupakan masa yang
memiliki peluang terjadinya ketegangan emosional, karena pada masa
itu seseorang berada pada wilayah baru dengan harapan-harapan baru,
dan kondisi lingkungan serta permasalahan baru. 5) Masa keterasingan
sosial, ketika pendidikan berakhir seseorang akan memasuki dunia kerja
dan kehidupan keluarga, seiring dengan itu hubungan dengan kelompok
8
teman sebaya semakin renggang.6) Masa komitmen, pada usia dewasa
awal seseorang akan menentukan pola hidup baru, dengan memikul
tanggung jawab baru dan memuat komitmen-komitmen baru dalam
kehidupan. 7) Masa ketergantungan, meskipun telah mencapai status
dewasa dan kemandirian, ternyata masih banyak orang dewasa awal
yang tergantung pada pihak lain. 8) Masa perubahan nilai, jika orang
dewasa awal ingin diterima oleh anggota kelompok orang dewasa. 9)
Masa penyesuaian diri dengan cara hidup baru. 10) Masa kreatif, masa
dewasa awal merupakan puncak kreativitas.( Elizabeth Hurlock, 1991 :
247-252).
Ditinjau dari tugas perkembangan yang sedang dihadapi pada fase
usia dewasa awal, maka tugas perkembangan yang sedang dihadapi
adalah sebagai berikut :
1) mulai bekerja ; 2) memilih pasangan hidup ; 3) belajar hidup dengan
pasangan ; 4) mempersiapkan pernikahan dan hidup berkeluarga ; 5)
memelihara anak ;6) mengelola rumah tangga ; 7) mengambil tanggung jawab
sebagai warga negara ;8) menemukan suatu kelompok yang serasi. (Elizabeth B.
Hurlock , 1991 : 10 ).
2. Selintas Tentang Konseling Kelompok .
Konseling kelompok adalah suatu upaya bantuan terhadap
individu dalam suasana kelompok yang bersifat pencegahan dan
9
penyembuhan, dan diarahkan kepada pemberian kemudahan dalam
rangka perkembangan dan pertumbuhannya.
(Rohman Natawidjaja ; 1987 : 33)
Dari pengertian di atas, dapat dimaknai, bahwa sekalipun bantuan
diberikan dalam suasana kelompok, namun tergambar dengan jelas
bahwa, tujuan akhir yang dicapai adalah bersifat individual. Sementara
peran dan fungsi konseling kelompok itu sendiri dipandang sebagai
perantara atau medium yang memfasilitasi terjadinya perubahan perilaku
pada masing-masing anggota kelompoknya.
Terkait dengan tujuan akhir yang dicapai dalam konseling
kelompok, Nana Syaodih Sukmadinata (1988 : 74-75) mengemukakan
bahwa tujuan konseling kelompok adalah membantu individu agar
dapat : a) mencapai pemahaman diri; b) mempunyai pandangan yang
luas tentang dirinya dalam hubungannya dengan orang lain; c) memiliki
pemahaman yang luas terhadap faktor-faktor sosial yang mempengaruhi
perkembangan kepribadian ; d) mengendurkan ketegangan, frustasi,
kecemasan, atau perasaan berdosa; e) memahami masalah dengan
baik, belajar mengawasinya, mengadakan pemilihan, dan mencari
keputusan yang tepat ; f) menerima secara objektif tentang pikiran,
perasaan, dan motif-motifnya ; g) memiliki perasaan bersatu dengan
orang lain, menerima dan memberikan bantuan, memahami dan
menerima dirinya dan orang lain.
10
3. Selintas Tentang Pernikahan dan Konseling Pra Nikah
Pernikahan adalah ikatan sakral yang terjalin di antara laki-laki
dan perempuan yang telah memiliki komitmen usntuk saling
menyayangi, mengasihi, dan melindungi. Hubungan yang terjadi di
antara pasangan dalam sebuah pernikahan, merupakan hal yang paling
mendasar . Apabila hubungan yang terjadi di antara pasangan tersebut
terjalin dengan baik, maka akan nampak keharmonisan dan
kebahagiaan di dalam pernikahan dan hidup berkeluarga yang
dijalaninya. Begitu pun sebaliknya, jika dalam memasuki jenjang
pernikahan , seseorang belum mampu mempersiapkan dirinya baik
secra fisik, mental, spritual, dan finansial, maka diperlukan sekali
persiapan – persiapan menuju ke jenjang pernikahan dan hidup
berkeluarga.
Sebuah persiapan sangat diperlukan dengan tujuan agar masingmasing
pasangan dapat mengetahui, memahami, serta mensikapi nilainilai
pernikahan yang merujuk kepada makna dan hikmah pernikahan
dalam hidup berkeluarga.
Dalam agama nikah ini sangatlah dianjurkan, bahkan diwajibkan
bagi mereka yang apabila tidak nikah, cenderung akan melakukan zina.
Salah satu anjuran agama, melalui hadist Rasulullah Saw., dikemukakan
sebagai berikut. “Wahai para pemuda, siapa saja yang telah sanggup
untuk memberi nafkah, hendaklah dia menikah, karena nikah itu
11
merupakan suatu jalan untuk mencegah pandangan (dari hal negatfi)
dan lebih memelihara kehormatan”.
Agama menganjurkan atau mewajibkan menikah kepada umatnya,
karena nikah mengandung hikmah sebagai berikut : 1) penyaluran
nafsu seksual secara benar dan sah ; 2) satu-satunya cara untuk
mendapatkan anak atau mengembangkan keturunan secara sah ; 3)
untuk memenuhi naluri kebapakan dan keibuan yang dimiliki seseorang
dalam melimpahkan kasih sayangnya ; 4) mengembangakan rasa
tanggung jawab seseorang yang telah dewasa ; 5) berbagai rasa
bertanggungjawab melalui kerjasama yang baik ; 6) mempererat
hubungan (tali silaturahmi) antar satu keluarga dengan keluarga lain ; 7)
menjaga diri dari keamaksiatan karena terpenuhinya kebutuhan fitrah
seks ; 8) memperpanjang usia. ( Dadang Hawari , 2006 : 60 – 65,
Suroso Abd. Salam, dkk., 2006 : 165).
Ciri-ciri individu yang memasuki usia dewasa awal dan memiliki
sikap positif terhadap pernikahan, dikemukakan sebagai berikut.
a. Mau mempelajari hal ihwal pernikahan
b. Meyakini bahwa nikah meruapakan satu-satunya jalan yang
mensahkan hubungan sex antara pria dan wanita.
c. Meyakini bahwa nikah merupakan ajara agama yang sakral (suci)
yang tidak boleh dilanggar.
d. Mau mempersiapkan diri untuk menempuh jenjang pernikahan.
12
Disamping hikmah pernikahan dan ciri-ciri sikap positif yang perlu
dipersiapkan mahasiswa sebagai individu yang sedang berada pada
fase usia dewasa awal, maka perlu memahami pula faktor-faktor yang
harus diperhatikan dalam menempuh pernikahan, diantaranya adalah
sebagai berikut.
a. Kematangan fisik (bagi wanita setelah usia 18-20 tahun, bagi pria
usia 25 tahun).
b. Kesiapan materi (bagi suami diwajibkan memberi nafkah kepada istri)
c. Kematangan psikis (mampu mengendalikan diri, tidak kekanakkanakan,
tidak mudah tersinggung, dan tidak mudah pundung,
berkisap mau menerima kehadiran orang lain dalam kehidupannya;
mempunyai sikap toleran, bersikat hormat atau mau menghargai
orang lain, dan memahami karakteristik pribadi dirinya atau calon
istri/suaminya).
d. Kematangan Moral-Spritual (memiliki pemahaman dan keterampilan
dalam masalah agama, sudah bisa dan biasa melaksanakan ajaran
agama, terutama shalat dan mengaji kitab suci, dan dapat
mengajarkan agama kepada anak).
Sesuai dengan paparan di atas tentang hikmah, ciri-ciri, dan
faktor-faktor yang perlu dipahami dalam menghadapi pernikahan,
berikut dikemukakan makna hidup berkeluarga yang akan dijalani
setelah proses pernikahan berlangsung. Keluarga terbentuk melalui
pernikahan. Hidup bersama antara pria dan wanita tidak dapat
13
dikatakan “keluarga”, jika tidak diikat dengan tali pernikahan. Hidup
bersama tanpa nikah, orang menamakannya ”samen leven” alias
“kumpul kebo”, yang menurut agama haram hukumnya. Hidup
berkeluarga adalah hidup bersama antara suami-istri, atau orang tuaanak
sebagai hasil dari ikatan penikahan.
Dalam hidup berkeluarga itu, ada hak dan kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh masing-masing anggotanya. Suami mempunyai
kewajiban untuk memberi nafkah dan memberi perawatan dan
pendidikan kepada keluarganya. Dia mempunyai hak untuk mendapat
penghidmatan yang baik dari istrinya, dan penghormatan dari anaknya.
Istri atau ibu mempunyai kewajiban untuk berhidmat kepada suaminya,
dan merawat serta mendidik anaknya. Dia pun mempunyai hak untuk
mendapat nafkah dari suaminya dan penghormatan dari suami dan
anaknya. Anak mempunyai kewajiban untuk menghormati atau mentaati
perintah orang tuanya. Dia juga mempunyai hak untuk mendapat
perawatan dan pendidikan dari orang tuanya.
Sedangkan ciri-ciri usia dewasa awal yang mempunyai sikap positif
terhadap hidup berkeluarga, dikemukakan sebagai berikut.
a. Mempunyai keinginan mempelajari hal ihwal hidup berkeluarga.
b. Mau menerima hak dan kewajiban sebagai suami atau istri, atau
sebagai orang tua.
c. Meyakini bahwa hidup berkeluarga merupakan salah satu ibadah
kepada Tuhan
14
d. Meyakini bahwa dengan hidup berkeluarga masyarakat atau negara
itu akan kokoh, sejahtera, aman, tertib, maju , dan bermoral.
(Syamsu Yusuf , 1998 : 42-42).
Konseling pranikah adalah suatu pola pemberian bantuan yang
ditujukan untuk membantu mahasiswa memahami dan mensikapi
konsep pernikahan dan hidup berkeluarga berdasarkan tugas-tugas
perkembangan dan nilai-nilai keagamaan sebagai rujukan dalam
mempersiapkan pernikahan yang mereka harapkan. Inti pelayanan
konseling pranikah adalah wawancara konseling, melalui wawancara
konseling diharapkan mahasiswa dapat memperoleh pengetahuan,
pemahaman, keterampilan, nilai-nilai dan keyakinan yang kokoh, serta
membantu menangani masalah-masalah yang mengganggu mereka
menuju pernikahan yang diharapkan.
Konseling pranikah yang dimaksud, dirancang dalam sebuah
sistem dengan komponen-komponen dari aspek-aspek konseling yang
diidentifikasi secara jelas dan diorganisasikan ke dalam suatu susunan
yang dapat meningkatkan keefektifan dan keefesienan suatu pelayanan.
Konseling pra nikah dalam makalah ini, akan direalisasikan
melalui pendekatan kelompok yang akan dibahas pada bagian berikut.
15
4. Konseling Pra Nikah Melalui Pendekatan Kelompok
Bagian ini akan membahas secara rinci dan menyeluruh, karena
merupakan isi pokok materi tentang pendekatan kelompok dan di
implementasikan dalam konseling pra nikah bagi mahasiswa di
perguruan tinggi. Sebagai bahan rujukan utama yang dijadikan landasan
pokok materi, baik sebagai bahan uraian pada aspek ini, maupun fokus
isi makalah secara keseluruhan adalah sebagai berikut.
a. Konsep Pokok Materi pertama, di angkat dari sebuah artikel, yang
berjudul ‘Teknik-Teknik Bagi Kelompok Pra nikah’ (Techniques with Pre-
Marriage Group), penulisnya adalah David J. Rolfe (Marriage and
Family Counseling Clinic Lansing, Michigan, USA) diperoleh dari British
Journal of Guidance & Counselling. Uraian dari pembahasan artikel
tersebut adalah sebagai berikut.
Artikel ini membahas desain dan implementasi kursus singkat
pranikah bagi pasangan. Formatnya berupa salah satu ceramah pendek
yang diikuti dengan latihan (exercises) dan diskusi oleh pasangan atau
kelompok-kecil. Berkenaan dengan latihan orientasi, dibahas lima bidang
kajian / topik, yaitu : 1) interaksi pernikahan ; 2) manajemen keuangan;
3) tugas orang tua (parenthood); 4) dimensi-dimensi keagamaan; dan 5)
masalah seks. Kursus ini merujuk pada program pranikah lainnya yang
diselenggarakan di Amerika Serikat.
Gangsei (1971) yang orientasinya lebih bersifat psikologis,
memberikan kesempatan kepada kelompok untuk menjalankannya
16
sendiri melalui sebuah bentuk kursus yang lebih fleksibel digunakan oleh
Glendening & Wilson (1972) dalam sebuah kursus yang diadakan bagi
calon perwira militer dan calon istrinya. Terbuka bagi lima pasang
sekaligus, kursus ini berlangsung rata-rata 22 jam pertemuan dalam satu
akhir pekan. Penekanannya terletak pada penggunaan proses
kelompok-kecil untuk lebih lanjut menumbuhkan wawasan dan
hubungan. Uniknya, kursus ini merupakan konseling lanjutan yang
terencana selama bulan-bulan berikutmya.
Dua kursus lainnya, walau ditujukan pada pasangan individual,
dapat diadaptasi untuk kelompok-kecil. Kedua kursus ini dimulai oleh
cabang-cabang sistem hukum di AS yang bertanggung jawab
memberikan izin menikah kepada pasangan muda yang berusia antara
14-18 tahun. Kursus yang diadakan di California lebih bersifat
mendidik—educational—( Shonick, 1975). Kursus lainnya, yang
digunakan di Ingham County, Michigan, menggabungkan unsur
pendidikan dengan evaluasi diagnostik khusus dan psikoterapi singkat
bagi pasangan muda dan orang tuanya ( Rolfe, 1976).
Sebuah pendekatan yang berbeda adalah yang digunakan
Program Komunikasi Pasangan Minessota—Minessota Couples
Communication Programme, MCCP-- (Miller & Nunnally, 1972), yakni
sebuah program pelatihan keterampilan komunikasi individual dan
pasangan: dalam hal ini, sejumlah informasi disampaikan dan diperiksa
nilai-nilainya. Namun, secara umum, terdapat sedikit sekali kursus yang
17
berusaha memberikan informasi dan keterampilan, dan pada saat yang
sama memeriksa prioritas bagi pernikahan anggota-anggota kursusnya.
Materi Pelatihan
Materi dalam pelatihan ini memiliki lima bidang cakupan yaitu : 1)
interaksi pernikahan; 2) manajemen keuangan ; 3)tugas sebagai orang
tua (parenthood); 4) dimensi-dimensi keagamaan ; dan 5) masalah seks.
Masing-masing diberi alokasi waktu 40-90 menit, dan formatnya
sama pentingnya dalam semua hal, yakni penyampaian informasi diikuti
dengan sesi pertanyaan pendek dan sisa waktu terbanyak digunakan
untuk latihan baik di kelompok kecil atau pasangan individual.
Kelima bidang cakupan dari materi kursus diatas, berkut
dikemukakan penjelasannya masing-masing.
1. interaksi pernikahan. Materi ini dimulai dengan ceramah singkat
meminta partisipan memikirkan peran implisit dan eksplisit dari fungsi
kerja dan organisasi dalam keluarga yang telah mereka jalankan. Sikapsikap
terhadap rasa marah, mendebat, kasih sayang, masalah seks dan
mitos keluarga (Laing, 1969) dinyatakan penting. Orientasinya
merupakan salah satu dari ‘bagaimana Anda melakukan sesuatu di
dalam keluarga Anda dan bagaimana pasangan Anda melakukannya di
keluarganya?’.
Selanjutnya, partisipan bersama dengan pembicara membuat
daftar pernyataan tentang tanggung jawab peran istri dan suami.
Pembicara menuliskannya di papan tulis, dengan menggunakan huruf18
huruf dari setengah bagian alfabet pertama untuk mengidentifikasi 10
atau 12 pernyataan peranan istri, dan huruf-huruf pada sebagian akhir
alfabet untuk mengidentifikasi pernyataan tentang peranan suami.
Pasangan kemudian dipisah, diberi kertas dan pensil, dan diminta
mengurutkan pernyataan tersebut berdasarkan penekanan relatif atau
prioritas yang mereka tetapkan dalam hal fungsi kerja masing-masing
yang dijalankan sebelumnya dalam pernikahan. Tiap orang juga
mengurutkan pernyataan tentang peranan pasangannya, yang
menunjukkan bagaimana mereka menginginkan pasangannya bertindak
sebagai seorang suami atau istri. Setelah ini, tiap pasangan kembali
bersama dan membahas urutan prioritas relatifnya. Diketahui bahwa
perbedaan tiga tingkat atau lebih dalam urutan prioritas diantara
pasangan—misalnya, si perempuan menetapkan persahabatan bagi
dirinya dan pasangannya sebagai prioritas utama, dan si laki-laki
menetapkannya sebagai prioritas keempat—merupakan pemicu konflik
pada hal tersebut. Pasangan-pasangan diminta melihat prioritasprioritasnya
bersama, dan menemukan bagaimana dan mengapa
mereka telah mencapai konsensus. Mereka sama-sama diminta melihat
area-area perbedaan dan memikirkan tidak hanya tentang arti dari
perbedaan tersebut, namun juga bagaimana cara mengatasinya. Mereka
didorong untuk melanjutkan diskusinya setelah pertemuan. Rupanya
banyak dari mereka yang melakukannya.
19
2. Bidang manajemen keuangan. Untuk mengkaji bidang ini, sangatlah
tidak mudah, karena terdapat informasi tertentu yang telah tercakup di
dalamnya. Detemukan bahwa betapa pentingnya menyediakan bukletbuklet
tentang asuransi yang dipilih secara cermat, menyusun anggaran,
bagan sewa-beli, kartu kredit, dan bagaimana mengatur keinginan.
Fokus utama ceramah dalam materi ini adalah tentang bagaimana
menggunakan informasi yang tercantum dalam handout. Topik-topik
seperti tujuan perencanaan, mekanisme alokasi uang, dan bagaimana
mengelola sesuatu jika pengeluaran seseorang melebihi
pendapatannya, semuanya merupakan bagian yang membantu dari
presentasi. Tergantung preferensi pembicara, ceramah ini didahului atau
diikuti dengan presentasi film dan kaset-tape yang berjudul ‘Pernikahan
dan Uang’ (Marriage and Money), yang menayangkan pasangan muda
yang sedang mempertimbangkan sejumlah pilihan realistis.
Bagian berikutnya dari sesi ini berfokus pada prioritas-prioritas
partisipan kursus. Terdapat dua metode yang berhasil digunakan. Salah
satunya adalah Latihan Manajemen Keuangan—Money Management
Exercise--(Rolfe, 1975)1, sebuah kumpulan sketsa permasalahan
keuangan. Tiap partisipan mengambil sebuah kartu bernomor secara
acak, membacakan sketsanya kepada anggota-anggota kelompok
lainnya, dan kemudian menjelaskan bagaimana keadaan sulit tersebut
diatasi. Mengecek pasangannya apakah mereka menginginkan atau
20
menyukai bantuan (remedy) dapat membuka diskusi yang menarik dan
menyenangkan.
Latihan alternatif lain adalah Inventaris Prioritas Finansial-
Financial Priority Inventory (Rolfe, 1974)1. Ini berkaitan dengan prioritas
dalam hal penggunaan uang, nilai-nilai manajemen keuangan, dan
jumlah relatif yang dimiliki masing-masing pasangan dalam keputusan
finansial, dan perkiraan seberapa besar uang yang dapat dibelanjakan
untuk bermacam-macam barang. Pasangan dipisahkan untuk menngisi
formulir dan kemudian kembali bersama untuk memulai proses
penyusunan manajemen keuangan untuk pernikahannya mendatang.
Pasangan-pasangan yang telah memulai proses ini beruntung karena
mendapat umpan balik langsung dari tingkat konsensusnya. Kelompok
ini seringkali merasa senang mengetahui tingkat konsensus dalam
kelompoknya, dan pasangan lain yang memiliki prioritas sama. Secara
membangun ini dapat ditangani selama tidak dipaksakan semua orang
berbagi temuan-temuannya.
3. Tugas orang tua (parenthood). Tugas ini memiliki fungsi ganda:
hubungan dengan orang tua dan ipar, dan pasangan juga menjadi orang
tua bagi anak-anaknya. Topik ini bagi pembicara termasuk sulit untuk
disampaikan secara memuaskan karena ketika diminta
mengungkapkannya seringkali seorang yang cerdas dan terbuka
pemikirannya bahkan bersikukuh dan berpikiran sempit seperti
21
misionaris Victoria. Selanjutnya dipilih para pembicara secara cermat,
mencari seseorang yang dapat menyampaikan fakta-fakta sekaligus
mendorong pasangan untuk memikirkan siapa yang diharapkan
melakukan segala hal dalam pernikahannya. Pasangan yang sudah
bertunangan seringkali harus dibujuk bahwa penting untuk
membicarakan tugas orang tua sebelum mereka menikah. Namun,
mereka menemukan ternyata sangat membantu untuk saling
mengemukakan ekspektasi masing-masing tentang gambaran peran
sebagai orang tua, dan memperkirakan perubahan yang terjadi di dalam
pernikahan setelah kehadiran anak-anak. Pertanyaan yang diajukan
mencakup ‘kapan Anda siap berkeluarga?’ dan ‘mengapa Anda ingin
memiliki anak?’. Pembicara mengemukakan bahwa biasanya orangorang
cenderung membesarkan anak seperti halnya mereka dibesarkan:
dengan sedikit desakan, ini memancing anggota-anggota kursus untuk
mulai bersama-sama mengemukakan beberapa bayangan dengan calon
suami/istrinya, dan umpan balik yang diterima menunjukkan bahwa
setelah pertemuan usai banyak dari mereka berjam-jam membicarakan
praktek-praktek berkeluarga. Pertanyaan-pertanyaan pada akhir
ceramah harus dipisahkan dari bagaimana pembicara telah
membesarkan anak-anaknya: mereka diarahkan kembali ke si penanya
dan bagaimana dia ingin menangani situasi tersebut. Memberi jawaban
yang sudah tersedia pada saat ini tidak akan membantu pasangan
memanfaatkan intelijensinya untuk menghasilkan perencanaan yang
22
lebih dulu, namun memiliki akibat sebaliknya yakni malah menutup
penyelidikan (inquiry). Namun, mereka diberi rujukan organisasi atau
buku dimana mereka dapat memperoleh nasihat yang diperlukan dari
ahlinya.
Latihan pada bagian ini kembali menggunakan sketsa-sketsa
pendek (Rolfe, 1975b)1. Sebagaimana sketsa-sketsa dalam Latihan
Manajemen Keuangan, yakni semuanya diambil dari kejadian
sebenarnya, beberapa dikemukakan pasangan dalam konseling
pernikahan, dan yang lainnya mengambil dari diskusi informatif dengan
orang tua.
4. Dimensi-dimensi keagamaan dalam pernikahan. Versi yang
diangkat dari materi keempat ini, adalah versi kristiani. Pendekatan yang
digunakan dengan melalui tiga orang penceramah dari para pendeta.
seorang penceramah / pendeta lajang, dua pendeta dari gereja yang
berbeda, dan seorang pendeta dan masyarakat biasa. Keberhasilan dua
pendekatan terakhir bergantung pada kemampuan para pemimpin
bekerja sama. Sebelum membahas permasalahan, sangat membantu
untuk menguji partisipan dan mengetahui apa yang mereka harapkan
dari ceramah. Kemudian, segera setelah itu kelompok kecil diminta
memutuskan untuk apa pernikahan bagi mereka dalam versi kristen:
bagaimana pernikahan ini berfungsi dalam keseharian; dan bagaimana
pasangan beda-keyakinan yang melanjutkan tradisi keagamaan masing23
masing dapat tetap memiliki pernikahan yang harmonis. Pembicara
mengundang kelompok untuk mengemukakan pikirannya mengenai
pertanyaan ini, dan gagasan ini secara informal dibangun untuk
mencakup sejumlah bidang-bidang topik yang telah ditentukan Ini
terbukti jauh lebih efektif dibanding pendekatan alternatif ceramahdiikuti-
pertanyaan dalam mesntimulasi pikiran dan diskusi-kelompok
tambahan. Bidang-bidang topik yang dibahas mencakup hubungan
pernikahan, perencanaan keluarga, memperoleh keturunan, masalah
seks dalam pernikahan, sifat sakral pernikahan, perintah agama
mengenai anak-anak, persoalan dan pernikahan beda-keyakinan,
keyakinan aktif dalam hubungan pernikahan, persiapan kehidupan
pernikahan Kristen dan cara upacara pernikahan.
Disamping menyampaikan informasi faktual, diharapkan pendeta
mendorong pasangan yang memiliki latar belakang agama yang berbeda
untuk mengunjungi gereja pasangannya, secara terpisah mencatat
khotbah, dan memeriksa apakah keduanya ‘mendengar’ hal yang sama
dari apa yang disampaikan (Knox, 1972). Beberapa pendeta enggan
melakukan ini. Walaupun demikian, perbedaan agama harus dibicarakan
secara mendalam sebelum pernikahan. Meski hal ini berlaku bagi semua
campuran latar belakang agama, namun penting sekali bagi mereka
yang mana persekutuan melintasi garis Katolik, Judaisme, Protestan
Evangelis, atau Fundamentalisme (misalnya, Saksi Jehovah). Tiap
pandangan umum agama menempatkan nilai-nilai pembedanya pada
24
ketaatan beragama, wewenang pendeta, individualitas, dan pemeluk
agama baru. Gagalnya membahas perbedaan ini sebelum pernikahan
dapat menyebabkan seseorang tidak mengetahui gambaran tentang
keinginan pasangannya untuk mengubah atau mengikuti praktek-praktek
terdahulunya.
Jika pemimpin mengalami kesulitan mengajak partisipan terlibat
dalam membahas masalah ini, latihan nilai-nilai keagamaan kadang
digunakan. Seluruh kelompok diminta membantu membuat daftar
sepuluh pernyataan yang menggambarkan praktek keagamaannya.
Kemudian, tiap kelompok kecil diminta mengurangi menjadi lima item,
atau mengurutkan daftar lengkap dari kesepuluh item. Seringkali ini
merupakan pekerjaan yang menuntut dan memakan waktu.
5. Masalah seks. Masalah seks merupakan topik menarik bagi semua
orang, maka kursus dipenuhi partisipan dan berakhir menyenangkan.
Topik seperti ini mungkin saja berlebihan di dunia berorientasi seks
seperti saat ini, tapi ternyata tidak: sangat mengejutkan justru hanya
sedikit yang benar-benar paham tentang masalah seks. Penceramah
sebelum memulai sesi ini penting sekali untuk memberikan ulasannya
terlebih dahulu. Apa yang membantu dan mengurangi kecemasan bagi
pasangan muda mungkin saja menimbulkan kecemasan bagi orang
yang lebih tua. Biasanya ulasan ini dimulai dengan tayangan film
tentang masalah seks seperti Achieving Sexual Maturity (Memeperoleh
25
Kematangan Seksual) atau About Concepstion and Contraseption
(Tentang Konsepsi dan Kontrasepsi). Kemudian diikuti dengan diskusi
dan sesi pertanyaan yang dipimpin oleh dokter, perawat atau pembicara
dari Klinik Perencanaan Keluarga (Family Planning Clinic). Diskusi
mencakup fisiologi reproduksi manusia, perencanaan keluarga, dan nilainilai
emosional penting dalam hubungan seksual, sikap tanggap yang
berkurang, dan mengajarkan masalah seks kepada anak. Bidang-bidang
ini bersifat emosional, yang mana pengajaran nilai-nilai bersinggungan
dengan larangan kegiatannya: untungya terdapat sejumlah bahan-bahan
sumber yang bagus (Rubin & Calderwood, 1973; dan Paonesa &
Paonesa, 1971). Bahkan dengan partisipan yang terpelajar dan tampak
malu-malu, kualitas pertanyaan yang diajukan lebih meningkat dengan
cara memberikan kertas kepada semua orang untuk menuliskan
pertanyaan: kertas kemudian dikumpulkan dan diserahkan kepada
pembicara untuk dijawab; mereka yang tidak memilki pertanyaan
menulis ‘no question’.
Bagian terakhir dari bidang topik ini adalah latihan ‘Hubungan
Seksual’(sexual intimacy). Tiap pasangan diberi kuesioner untuk
didiskusikan secara pribadi. Kuesioner tersebut bukan mengenai
pantangan pranikah ataupun hidup bersama sebelum pernikahan,
namun mengarahkan pasangan untuk saling menanyakan pertanyaan
khusus seperti ‘ketika berhubungan seks, apakah ada situasi atau saatsaat
yang dapat menimbulkan ketegangan dalam pernikahan kita?’,
26
‘kapan kita berhubungan seks, apa yang kamu rasakan jika satu diantara
kita tidak mencapai orgasme?’, ‘kebutuhan seksual seperti apa yang
kamu bayangkan jika sedang merasa sedih, depresi atau tidak bahagia?’
(Rolfe, 1975). Latihan ini memiliki dua tujuan sekaligus, yakni untuk
mendorong praktek diskusi secara terbuka tentang unsur seksual dalam
pernikahan, dan untuk memotivasi pasangan dalam membahas bersama
masalah-masalah dan prasangka tentang ekspektasi mereka dari
hubungan seksual dalam pernikahan.
Jika masih tersedia banyak waktu, kursus dapat dilanjutkan
dengan sesi tambahan tentang masalah seks dengan menggunakan
kerangka prosedur kelompok kecil dalam Morrison dan Price (1974) dan
Schiller (1972). Tetapi untuk melanjutkan proses evaluasi-diri,
penggunaan dan penyaringan informasi, dan diskusi bersama tentang
prioritas, pasangan dibekali sejumlah pekerjaan rumah
b. Konsep pokok materi kedua, diangkat dari sebuah buku, yang
berjudul “The Helping Relationship’ (Proses and Skill), yang ditulis oleh
Lawrence M. Brammer.
Materi bahasan yang diangkat melalui buku sumber tersebut
adalah tentang pendekatan kelompok melalui Self help group.
27
1. Pengertian Self Helf Group.
Self helf group merupakan suatu cara yang efektif untuk
menangani masalah bersama dalam kelompok, dengan cara saling
mendukung ( membantu) yang saling menguntungkan antara samasama
anggota kelompoknya.
Melalui pendekatan self help group, permasalahan yang dihadapi
secara bersama dengan setiap anggota kelompoknya, cenderung dapat
dijadikan sebagai sumber semangat baik bagi konselor, maupun
kliennya dalam mencari alternatif bantuan dan pemecahan masalah
yang sama-sama dihadapinya.
Bimbingan dan Konseling dengan pendekatan self help group
mulai berkembang pada tahun1930-an yang lalu. Gerakan ini
merupakan upaya keinginan untuk memperbaiki kondisi kehidupan baik
secara individual maupun kelompok.. Terdapat lebih dari 500 ribu Self
help groupdi Amerika Serikat dengan 12-15 juta anggota aktif (Brown,
Farley, Squires: 1988). Menurut sejarah, berdasarkan para profesional,
kesehatan mental memiliki ambivalen (perasaan yang bertentangan)
atau reaksi pertolongan terhadap diri sendiri.
2. Kesamaan Karakteristik Anggota Self Help Group.
Anggota self help group cenderung memiliki kesamaan
karakteristik, diantaranya adalah sebagai berikut.
a. Berorientasi teman sebaya
b. Memiliki fokus permasalahan yang cenderung sama dan seirama.
28
c. Para anggotanya cenderung memiliki karakteristik unik yang
terkadang dianggap aneh di pandang masyarakat.
d. Memiliki dasar ideologis
3. Dasar Pemikiran Teoritis
a. Kebanyakan self help group didasarkan pada teori sosiologi atau
psikologi. Pendekatan Self help group dalam pelaksanaannya
didasarkan pada teori psikologis atau kemasyarakatan. Berbagai
masalah psikologi individu atau kesulitan yang dialami individu dalam
masyarakat sering dihadapi. Karena itu, individu dibantu melalui cara
bekerja dengan orang lain yang berlatar belakang sama melalui
kelompok dalam masyarakat.
b. Mekanisme perubahan yang terjadi dalam self help group, di
antaranya adalah sebagai berikut.
1). Pemberian dukungan yang saling menguntungkan: melalui Self help
groupakan memberikan dukungan sosial untuk men-support dampak
psikologis dalam peristiwa hidupnya yang kurang baik, penuh tekanan,
karena satu sama lainnya saling memberikan dukungan yang saling
menguntungkan.
2). Terapi pertolongan: melakukan sesuatu bagi orang lain, yaitu
memberikan pada seseorang rasa kebercukupan dan keberdayaan. Self
help groupdapat dijadikan sebagai metode “Terapi Pertolongan” yang
dapat memberi suatu perasaan nyaman, dalam upaya penguatan,
29
karena faktor terapeutik dalam Self help groupdidasarkan atas dimensi
efektif, behavioral, dan kognitif (Cole, 1983; Yalon, 1985).
3). Peran Ideologi: ada keyakinan pada Self help groupbahwa intervensi
bisa diterapkan. Dalam intervensinya ideologi mempunyai peran penting,
salah satunya dengan menanamkan rasa kepercayaan dan kejujuran
bagi anggotanya. Semua anggota kelompok diberi kesempatan untuk
berubah dan didorong untuk mencapai tujuan mereka sendiri, dan bila
mereka berhasil mencapai tujuan personal, maka kehidupan mereka jadi
terkontrol, dan selanjutnya keberhasilan dengan sendirinya akan dicapai.
Namun apabila mereka belum berhasil, mereka tetap diterima dan
didorong untuk mencoba lagi agar berhasil.
Disamping itu Rasa kepercayaan yang ditanamkan dan dibina
pada anggota self help group diantaranya meliputi hal-hal berikut.
Pertama, kepercayaan bahwa orang-orang yang mempunyai masalah
atau status yang sama dapat saling membantu dengan cara yang paling
baik. Kedua, kepercayaan bahwa orang mempunyai tanggung jawab
terhadap orang-orang lain. Ketiga, kepercayaan bahwa suatu kelompok
dapat menjadi suatu sarana yang efektif untuk membantu para
anggotanya agar menerima diri mereka sendiri menurut apa adanya dan
memecahkan masalah-masalah, sehingga mereka dapat meningkatkan
harga diri mereka. Keempat, kepercayaan akan pentingnya model
peranan dari seorang anggota kelompok yang telah berhasil baik
memecahkan masalahnya. Kelima, kepercayaan bahwa seorang
30
anggota kelompok yang baik akan selalu siap untuk membantu anggota
yang lain jika diperlukan. Keenam, parameter esensial: tiap-tiap anggota
akan memberikan dan mendapatkan bantuan untuk masalah gangguan
hidup serupa. Proses kelompok dicirikan dengan respon empatis dan
menurunnya penilaian buruk (skeptisme). Dengan landasan ideolgi
dapat dijadikan faktor perubahan bagi kesatuan anggota, yang
memberikan parameter penting bagi masing-masing anggota untuk
mengevaluasi permasalahan kehidupannya.
4.Strategi dan teknik-teknik self help group yang digunakan adalah
sebagai berikut.
a. Memberikan perasaan diterima dan menjadi bagian dari
kelompok kepada para anggota.
b. Memberikan dukungan moral dengan pengertian
bahwasannya para anggota mempunyai masalah atau status
yang sama
c. Memberikan kesempatan kepada para anggota agar
mengutarakan masalah-masalah mereka, saling
membicarakan perasaan-perasaan, dan menerima nasehatnasehat
tentang pemecahan masalah dari anggota-anggota
lain.
31
d. Memberikan model-model peranan yang diambil dari anggotaanggota
kelompok yang telah berhasil dalam penanggulangan
masalah-masalah atau situasi-situasi mereka.
e. Memberikan kesempatan kepada para anggota kelompok
agar mengadakan hubungan dengan kelompok-kelompok
lainnya di dalam masyarakat untuk tujuan peningkatan
pemahaman akan masyarakat dan pelayanan-pelayanan
yang terdapat di dalamnya. Kegiatan semacam ini diharapkan
juga dapat meningkatkan kepercayaan anggota kepada diri
sendiri dan memperkuat loyalitas mereka terhadap kelompok
maupun tujuan-tujuannya.
5. Peran Sebagai Pemimpin
a. Pemimpin memainkan peranan yang kurang penting. Jika
pemimpin terlalu bersifat mengarahkan atau mengontrol, maka
pengaruh terapi pertolongan, pemberdayaan individual dan
ideologi self help akan terhambat. Kebanyakan Self help
groupcenderung untuk mengurangi peranan pemimpin.
Kelompok-kelompok ini diorganisasi atas dasar partisipasi
kelompok secara demokratis. Para anggotanya didorong agar
bertanggung jawab penuh di dalam kelompok.
b. Peran profesional dalam Self help groupmencakup: pembicara
tamu, pemimpin atau wakil pemimpin, konsultan atau advisor,
32
pengelola dan koordinator, pengamat kelompok, evaluator dan
atau perwakilan nara sumber.
c. Seorang pemimpin yang otoriter atau totaliter yang dapat
menimbulkan kerusakan terhadap anggota lainnya.
6. Tujuan dan Sasaran
Secara umum tujuan yang akan dicapai dalam self help group adalah
sebagai berikut.
a. Membantu anggota kelompok yang baru untuk mulai aktif dan
mampu mewujudkan kehidupan yang sukses.
b. Terciptanya ideologi pada tiap anggota kelompok untuk
memudahkan adaptasi di antara anggota kelompok dalam
menghadapi permasalahan di dalam anggotanya.
c. Terciptanya pemahaman nilai-nilai spiritual sebagai aturan untuk
berperilaku dan semboyan dalam membentuk kepercayaan
kelompok dan menjadi pengikat satu sama lain, sebagai sesama
anggota dalam mewujudkan kesetiakawanan dalam menghadapi
permasalahan bersama (masalah umum).
C. PEMBAHASAN
Berdasarkan kepada kedua pendekatan kelompok yang telah di
paparkan pada bagian di atas, maka dalam pembahasan ini pun akan
berangkat dari kedua pendekatan tersebut
33
Pendekatan kelompok pertama, membahas tentang ‘Teknik-
Teknik bagi Kelompok Pra nikah’, yang di bimbing oleh tiga orang
pendeta dari status sosial yang berbeda. Teknik-teknik pendekatannya
dilakukan melalui kursus / latihan yang dilaksanakan secara
berkelompok, berpasang-pasangan dengan setiap calon pasangannya.
Pendekatannya dilakukan dengan melalui berbagai teknik seperti :
ceramah, daftar kuesioner bagi para peserta, simulasi, dan tayangan
media elektronik melalui tayangan video.
Untuk mengevaluasi efektifitas dari pelaksanaan pendekatan
kelompok pra nikah melalui kursus ini, 326 pasangan yang telah
mengikuti kursus pada tahun 1971 dan 1972 diundang untuk
berpartisipasi dalam studi lanjutan di hari jadi pernikahan mereka yang
pertama. Dari 149 pasangan yang bersedia diuji, diketahui terdapat
hubungan positif antara penyesuaian pranikah dan penyesuaian
berikutnya di awal masa pernikahan (Rolfe, 1975a). Disamping itu,
dengan menggunakan grup kontrol, diketahui bahwa dengan mengikuti
kursus persiapan pernikahan secara signifikan dapat meningkatkan
kepuasan berikutnya dalam pernikahan.
Pelatihan ini telah berhasil diselenggarakan di berbagai daerah di
AS dan Kanada, dan diterima baik di Selandia Baru dan Australia.
Mungkin di Inggris dapat berhasil juga.
Terkait dengan keberhasilan yang sudah di tempuh melalui
kelima teknik-teknik yang sudah di uraikan pada bagian pertama diatas,
34
membukakan inspirasi bagi penulis dalam rangka mempersiapkan
pembuatan disertasi tentang konseling pra nikah dengan mencoba
menerapkan kelima teknik-teknik dalam pendekatan kelompok terhadap
para mahasiswa, khususnya mahasiswa UPI yang sudah menempuh
semester enam keatas.
Sekilas mencoba mengimplementasikan kelima teknik berikut
melalui pendekatan kelompok dalam rangka pemberian layanan bantuan
konseling pra nikah bagi mahasiswa.
1. Interaksi Pernikahan. Diawali dengan ceramah singkat untuk
menstimulasi para peserta , agar segera dapat mendiskuasikan
tentang makna interaksi pernikahan, yang salah satunya dapat
ditinjau dari sudut pandang peran,fungsi , tugas dan tanggung
jawab calon pasangan masing-masing baik sebagai istri maupun
suami. Selanjutnya peserta bersama-sama konselor mencoba
membuat daftar pernyataan tentang aspek-aspek yang
dikemukakan diatas sesuai perannya masing-masing. Sampai
akhirnya dapat ditemukan hal-hal yang terkait dengan sudut
pandang yang sama sampai kepada yang sangat berbeda.
Sehingga diharapkan peserta mampu merefleksikan dirinya ,
khususnya dalam mengantisipasi serta mensikapi interaksi di
dalam pernikahan khususnya terhadap masing-masing
pasangan.
35
2. Manajemen Keuangan. Kajian ini sangat penting, karena
bagaimana pun siapnya para calon pasangan menjalani
kehidupan bersama dalam keluarga, kesepakatan dalam
mengelola keuangan adalah sebagai ‘alat’ interaksi
keterbuakaan yang utama dan pertama. Secara tinjauan islami,
keuangan merupakan fungsi ekonomi yang diperankan kepada
seorang suami sebagai pencari nafkah, dan tentunya seorang
suami tidak dibebani dalam memberi nafkah, melainkan menurut
kadar kesanggupannya dengan cara yang ma’ruf (Al-Qur’an,
Surat Al-Baqarah : 223).
3. Peran dan Tugas sebagai Orang Tua ( Parenthood). Diawal
kegiatan konselor berupaya untuk mendiskusikan terlebih dahulu
tentang tema di atas, sampai akhirnya peserta dapat diberi
kesempatan untuk mengemukakan ekspektasi masing-masing
tentang gambaran peran,tugas, dan tanggung jawab masingmasing
pasangan, serta mampu memperkirakan perubahan
yang terjadi di dalam pernikahan setelah kehadiran anak-anak.
4. Dimensi – dimensi Keagamaan dalam Pernikahan. Bidangbidang
topik yang dapat dibahas pada bagian ini, dapat
berangkat dari tema-tema keluarga yang mencakup ; hubungan
pernikahan, perencanaan keluarga, memperoleh keturunan, sifatsifat
sakral pernikahan sesuai perintah agama. Sebagaimana
dalam Al-Qur’an, surat Al-Tahrim ayat enam, difirmankan : “Hai
36
orang-orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari
siksa api neraka”. Ayat ini memberikan isyarat bahwa, keluarga
berfungsi sebagai penanam nilai-nilai agama kepada anak,
sehingga menjadi pedoman hidup yang benar.
5. Masalah Seks. Tema ini sangat penting untuk dibahas dengan
para peserta, terkait dengan usia mahasiswa semester enam
keatas sudah termasuk kepada fase usia dewasa, dimana salah
satu tugas perkembangan yang harus diselesaikannya adalah
tentang mempersiapkan pernikahan , hidup berkeluarga, dan
memelihara anak. Tugas perkembangan ini menggiring kepada
hikmah dan makna sebuah pernikahan yang diantaranya adalah
‘untuk penyaluran nafsu seksual secara benar dan sah.’
(Dadang Hawari, 2006 :60).
Pendekatan kelompok kedua, membahas tentang Self Help
Group. Kondisi dan cara serta pendekatan yang dilakukan melalui
pendekatan self help group seperti yang dikemukakan di atas,
memberikan peluang yang sangat tepat terhadap pelaksanaan konseling
pra nikah dengan melalui pendekatan kelompok. Seperti dikemukakan
oleh Rochman Natawidjaja (1987 : 39) bahwa, Bantuan diri ( self help
group) dimaksudkan untuk melindungi diri peserta-pesertanya dari
tekanan-tekanan psikologis dan memberikan dorongan kepada setiap
anggotanya untuk mulai mengubah kehidupannya menjadi lebih positif.
37
Terkait dengan pendapat di atas, W.S. Winkel (1991 : 464)
mengemukakan bahwa self help group adalah Self help group yang
diperuntukan bagi bagi para klien yang menyadari telah ketagihan dan
atau alkohol. Mereka berkumpul bersama dengan orang-orang yang
senasib dan saling memberikan dukungan dalam upaya melepaskan
diri dari belenggu ketagihan. Kelompok ini kerap di pimpim oleh orang
yang pernah mengalami ketagihan dan telah berhasil melepaskan diri
dari kebiasaannya yang buruk itu. Kelompok ini dapat beranggotakan
agak banyak dan pada umumnya bersifat terbuka dan berstruktur
informal. Kelompo-kelompok ini bergerak di luar pendidikan sekolah. Di
Indonesia kelompok semacam ini tidak dikenal. Siswa dan Mahasiswa
yang ketagihan obat bius biasanya ditampung di pusat-pusat
rehabilitasi khusus yang diikutsertakan dalam terapi kelompok.
Permasalahan yang dihadapi oleh self help group adalah sama,
dengan masalah yang sama tersebut para anggotanya akan merasa
senasib dan sepenanggungan. Perasaan itu akan memberi kekuatan
hati masing-masing anggota bahwa ia tidak sendiri.Sehingga timbul
dorongan untuk bergabung saling menguatkan dan saling memberi
dukungan. Hal tersebut merupakan faktor yang menentukan
keberhasilan bagi kelompoknya. Dukungan antar anggota kelompok
akhirnya dapat mensupport dampak psikologis akibat dari kesulitan atau
tekanan hidupnya. Dengan demikian kelompok dapat menjadi sarana
yang efektif untuk membantu para anggotanya agar menerima diri
38
mereka sendiri seperti apa adanya,dan dapat memecahkan masalah
yang dihadapi .Hal tersebut dapat meningkatkan harga diri mereka.
Peran anggota kelompok yang telah berhasil memecahkan
masalahnya, sangat penting untuk dijadikan contoh bagi
anggotanya.Disamping untuk untuk membuktikan keberhasilannya juga
dapat menambah kepercayaan dari para anggotanya. Disini justru
peranan pemimpin dalam kelompok kurang penting, karena pemimpin
yang menjadi otoriter dapat menimbulkan kerusakan hubungan terhadap
anggota lainnya. Kelompok ini diorganisasi atas dasar partisipasi
kelompok secara demokratis dan sukarela dan para anggotanya
didorong agar bertanggung jawab penuh. Dengan tidak adanya seorang
profesional yang memimpin kelompok ini mengakibatkan kurangnya
pengawasan terhadap anggota kelompok dan dapat terjadi interpretasi
ideologis yang berlebihan terhadap proses kelompok.
Merujuk kepada kedua pendapat para ahli yang telah dipaparkan
di atas, maka peran, fungsi , tujuan , serta mafaat pendekatan konseling
kelompok melalui self help group di terapkan bagi kelompok mahasiswa
cenderung sangat tepat, karena pada usia mahasiwa adalah usia yang
menuntut untuk lebih berorientasi terhadap kebersamaan dalam berbagi
pengalaman, baik dalam hal tuntutan akademik, sosial, maupun secara
personal. Demikian pula dengan permasalahan secara personal yang
terkait dengan rencana menjalani hidup berkeluarga melalui pernikahan,
yang sudah mulai sangat kental dihadapi para mahasiswa khususnya
39
yang cenderung sudah menginjak semester enam keatas. Sehingga
secara tidak disadari menjadi pengalaman secara bewrsama diantara
para mahasiswa sendiri.
Pengalaman dalam kebersamaan ini akan menjadi bahan rujukan
dalam mengambil setiap keputusan dan komitmen diri. Sehingga setiap
bantuan yang diperoleh melalui siapapun, cenderung akan berakhir
dengan bantuan diri yang perlu disikapi secara lebih mandiri. Amiiin ….
D. KESIMPULAN
Pendekatan konseling kelompok melalui self help group didasari
oleh pandangan sosiologi dan psikologi, artinya melalui pendekatan self
help group diharapkan dapat memberikan dukungan sosial untuk
mensupport dampak psikologis dalam peristiwa kurang baik yang
dialami individu. Sehingga satu sama lainnya saling memberikan
dukungan yang saling menguntungkan.
Tujuan utama self help group adalah diharapkan tiap individu
memperoleh perubahan dan perbaikan pada diri sendiri melalui
peningkatan kesadaran atau penyesuaian yang lebih baik terhadap
norma sosial dan perubahan masyarakat.
Pelaksanaan program pertemuan dalam self help group tidak ada
diskriminasi, karena siapapun dapat menjadi anggota. Akses kelompok
terbika berbagi pengalaman dalam menjalani kehidupan secara
produktif.
40
Dalam self help group akan melibatkan seorang profesional yang
berperan sebagai fasilitator untuk membantu memfasilitasi anggota
kelompok dalam memberikan kemudahan pelaksanaan program
pertemuan kelompok serta memfasilitasi berbagai sumber-sumber yang
dapat diperlukan anggota kelompok untuk mencapai perbaikan diri
masing-masing individu.
E. DAFTAR PUSTAKA
Lawrence M.Brammer. The Helping Relationship Process and Skill.
Prentice Hall International Editions.
Natawidjaja, Rochman. 1987. Pendekatan-Pendekatan Dalam
Penyuluhan Kelompok I. Penerbit : CV. Dipenogoro. Bandung.
Trull, Timothy. 2005. Clinical Psychology University of Missouri
Columbia:USA.
Winkel, W.S. 1991. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan.
Penerbit : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta.
41